Saturday 9 January 2010

Nasionalis Komunis

Tulisan ini hanyalah diskusi ringan yang berasal dari pemikiran yang ringan. Jadi tolong jangan terlalu emosional, diambil dalam hati, dan, yang paling penting, jangan dipolitisir.

Sebuah pemikiran menggelitik saya tepat ketika saya akan menunaikan shalat Isya’. Saat saya sedang merasa lelah karena banyaknya tugas, presentasi makalah, serta latihan taekwondo saya mendapat bahan pemikiran dan diskusi baru.
Hal ini berawal ketika setelah latihan taekwondo saya beserta teman-teman yang lain makan malam di sebuah warung makan yang berada di kawasan barel. Di situ saya bertemu dengan kawan lama teman saya yang merupakan seorang kader organisasi yang sedang saya pimpin. Diskusi pun dimulai. Mulai dari membicarakan mengenai kemajuan organisasi, program kerja, pencapaian, sampai pada permasalahan pemilu presiden yang mendatang.
Diskusi tersebut tetap saya pikirkan hingga saya sampai di rumah. Meskipun berbeda bahasan dan kurang relevan dengan bahan diskusi, out of nowhere saya terpikir mengenai sebuah hipotesis, kalau bukan dibilang realita. Pemikiran tersebut adalah, ternyata kaum nasionalis itu sering dianggap atheis, komunis, dan kebanyakan orang kristen karena moderat.
Mengapa saya bisa sampai pada pemikiran tersebut?
1. pada saat saya baru bergabung dengan organisai yang sedang saya pimpin ini, ayah saya bertanya, “Fal, kok kamu masuk XXXX? Kamu kan orang ISLAM, kenapa gak masuk XXX aja?”. Saya pun bertanya balik, “emangnya kenapa?”. “XXXX kan isinya Batak semua, banyak kristennya lagi.” Saya balas, “ya trus? Aku kan orang INDONESIA. Agama aja kebetulan Islam.” Percakapan pun berhenti di situ.
2. saya pernah terlibat diskusi dengan salah seorang kader saya. Dia menyebutkan, “bang, orang-orang komunis itu sebenernya nasionalis ga ya? Liat aja Hitler itu.” Saya jawab, “kalo menurut gw sih justru orang-orang komunis itu adalah nasionalis sejati, kenapa? Karena mereka hanya memikirkan mengenai negara dan kebersamaan, agama tidak mereka persoalkan. Sama aja kayak fasis. Sayangnya sih mereka nasionalis chauvinist, jadinya gitu deh. (mengambil contoh dari Jerman dan Italia yang dulu dikuasai pemerintahan komunis dan fasis.”
3. dari zaman terbentuknya negara ini cap yang ada terhadap kaum nasionalis sudah demikian. Ditambah lagi dengan kedekatan kaum nasionalis (Soekarno) yang dekat dengan kaum komunis Indonesia. Bahkan, seorang anggota yang komunis pun ada yang lebih kental nuansa nasionalisnya (saya ambil contoh Amir Sjarifuddin, tolong koreksi bila salah)
Kita tinggal di Indonesia. Negara yang memiliki tingkat keberagaman yang sangat tinggi. Mulai dari suku, ras, adat, budaya, dan agama. Sayangnya (ya, sayangnya), agama yang mendominasi adalah Islam. Sehingga menurut saya, sampai kiamat pun Indonesia tidak akan bersatu karena orang-orang Islam tetap memiliki pandangan bahwa selain orang Islam, tidak boleh menjadi pemimpin kita. Selalu akan terbentuk sebuah faksi Islam secara tersendiri, terutama di panggung politik. Padahal, menurut saya, apabila agama dipolitisir maka itu adalah sebuah tndakan yang kurang bijak.
Korelasinya apa dengan pemikiran saya?
Bahwa sekarang ini pergerakan kaum nasionalis cenderung dipandang sebagai kaum yang termarjinalkan. Kaum nasionalis sering dianggap nyeleneh. Baik secara pemikiran maupun tindakan. Salah satu pemikiran yang berkembang adalah tidak bisanya kaum nasionalis untuk mengikuti perkembangan zaman karena pemikirannya sudah kuno,cenderung kaku dan kerapkali terjebak dalam romantisme masa lalu. Ditambah lagi, bagi kaum nasionalis yang paling penting adalah negara. Bukan kelompok, bukan golongan, bukan agama tertentu. Sekali lagi, yang paling penting adalah negara. Paling tidak secara teori, logika, dan yang semestinya adalah seperti itu.
Sekali lagi saya ambil contoh dari organisasi yang sedang saya pimpin, karena contoh yang paling dekat dengan saya adalah ini. Ketika awal-awal saya bergabung dengan organisasi ini ada teman saya yang berkata, “ih Fal, kok lo mau sih masuk XXXX?”, saya pun bertanya, “emang nape?”, “itu kan komunis”. Jujur, pernyataan dari teman saya tersebut membuat saya ingin terawa terbahak-bahak karena alasan yang dia kemukakan atas pernyataannya adalah karena organisasi ini adalah organisasi yang memiliki pemikiran secara nasionalis, lebih tepatnya marhaenis.
Kemudian adalah ketika saya maju menjadi calon Ketua BEM fakultas. Ada isu yang berkembang untuk jangan memilih saya karena latar belakang organisasi saya. Alasannya adalah karena XXX adalah organisasi komunis dan pemberontak. Sekali lagi, saya ingin tertawa terbahak-bahak. Karena pernyataan tersebut keluar dari mulut wanita-wanita yang tidak mengerti dasar ideologi organisasi ini. Ditambah lagi satu wanita adalah anak baru, yang dapat diasumsikan bahwa dia tidak tahu menahu mengenai organisasi XXXX.
Saya kecewa. Kenapa sampai anak bau kencur bisa berkata demikian. Tentu manusia itu tidak bisa berpikir sendiri karena dia tidak mengerti ideology organisasi XXXX. Pasti dia sudah ‘diracuni’ oleh orang yang lebih lama berkecimpung dalam dunia politik kampus. Seharusnya ‘peracun’ itu sadar, bahwa organisasi ini bukan lah organisasi komunis, pemberontak, atau apapun lah fitnah-fitnah lain yang dikeluarkan. Mengapa sampai dia bisa mengeluarkan penyataan itu. Apakah karena organisasi ini adalah organisasi nasionalis?
Betul bahwa nasionalis tidak berbicara mengenai agama. Karena, saya tekankan sekali lagi, yang paling penting adalah negara. Ras apapun, suku apapun, agama apapun yang dia anut dapat menjadi seorang naionalis. Apalagi kalau sudah berbicara dalam tataran organisasi. Tentunya SEMUA ORANG berhak untuk masuk dalam organisasi yang ditempeli cap nasionalis selama orang tersebut sama kewarganegaraannya. Tidak memandang suku, ras, dan terutama agama. Justru organisasi semacam ini lah yang menurut saya ideal. Mengapa? Karena di sini kita belajar tenggang rasa, terutama kepada pemeluk agama lain. Ketika, misalkan, kita beragama Islam dan berada di masyarakat yang mayoritas Islam tentunya keberagaman itu kurang diperhatikan oleh kita. Namun apabila keadaan tersebut dibalik sehingga yang tadinya mayoritas menjadi minoritas, keberagamaan tersebut dapat kita hargai, bahkan bisa kita nikmati.
Apakah kita akan selamanya terpisah-pisah, terkotak-kotak, terfaksi-faksi dalam perbedaan suku, ras, dan agama? Atau mungkinkah kita bersatu untuk membangun negara ini, bangsa kita tercinta, Indonesia? Apakah orang Islam akan terus terkungkung dalam eksklusivitasnya dalam berkumpul, berorganisasi, berpolitik? Demi Indonesia yang lebih baik, kenapa tidak.

1 comment: