Monday 31 October 2011

Amerika Serikat: Si Cewek Cantik yang Rese'

Gue paling ngga suka sama cewek cantik, yang tau dirinya cantik. Banyak dideketin cowok, tapi sok jual mahal. Iya sih, dia memang unggul dibandingin cewek-cewek lainnya, tapi kalo udah jual mahal, apalagi bertindak sesuka dia, itu minus banget. Apalagi kalo dia tipe yang suka tebar pesona di mana-mana, tapi begitu mau ‘diikat’ tiba-tiba kabur entah ke mana.
Gue juga ngga suka sama cowok playboy. Tau kan? Tipe yang mengumbar komitmen ke semua cewek (atau cowok, kalo orientasinya ke sesama jenis), semua cewek diturutin. Yang bikin gemes lagi, itu cowok udah playboy, kaya, tapi masih bocah. Jadi kelakuannya pun kadang masih ga jelas.
Dalam hukum internasional, ada dua negara yang kelakuannya mirip (kalo ngga bisa dibilang persis) kayak Si Cewek-Cantik-Rese' dan Si Cowok-Playboy-Ababil. Si Cewek adalah Amerika Serikat, dan Si Cowok adalah Indonesia. Tentunya hal ini harus dimasukkan ke suatu konteks tertentu. Dalam hal ini, konteksnya adalah keterikatan mereka dalam perjanjian internasional, yang dianalogikan dengan komitmen cewek-cowok.
Salah satu sumber hukum internasional adalah perjanjian internasional. Bentuk perjanjian internasional ini beragam. Ada yang antar dua negara (bilateral), ada yang dibentuk dalam satu wilayah (regional, misal: ASEAN), dan ada juga yang dilakukan oleh banyak negara dalam satu waktu tertentu (multilateral). Nama perjanjian internasional pun banyak. Ada konvensi, statuta, komunike, dllsb.
Nah, untuk mengikatkan diri ke perjanjian internasional, lo harus melakukan sesuatu yang namanya ratifikasi. Dengan lo melakukan ratifikasi, lo menyerahkan sebagian kedaulatan lo untuk topik yang diatur dalam perjanjian internasional itu. Sama aja kayak pacaran. Waktu lo jomblo, lo kan bebas-bebas aja mau ngapain juga. Ngga akan ada yang ngelarang. Begitu lo udah pacaran, lo ngga akan sebebas kayak waktu lo jomblo karena sebagian kebebasan lo udah lo lepas untuk berkompromi sama pacar lo. (Untuk para lelaki, gue tau perasaan kalian gimana :D)
Kenapa gue bisa bilang AS itu cewek rese"? Karena pada waktu perjanjian internasional ini dibuat, terutama dalam perjanjian multilateral, AS itu bacotnya minta ampun. Ngatur ini, ngatur itu. Setuju sama A, menolak klausula B, abstain sama ketentuan C. Banyak banget nuntutnya. Tapi begitu waktunya untuk ratifikasi, mereka ga ratifikasi. (masukkan kata makian favorit anda di sini). 
Dua contoh yang bisa gue kasih adalah waktu Konvensi Hukum Laut. AS banyak banget minta A B C, menolak rezim Negara Kepulauan, kasih masukan ini itu. Tapi mereka ga ratifikasi. Pas pembahasan Statuta Roma (perjanjian internasional yang melahirkan lembaga hukum internasional permanen pertama, International Criminal Court) pun sama aja. Mereka vokal banget. Tapi begitu udah waktunya ratifikasi, mereka ga mau ikutan. Bahkan mereka buat suatu perjanjian sendiri, yang intinya minta persetujuan negara-negara lain untuk ga bawa warga negara mereka ke ICC. Ini mereka lakukan karena mereka takut warga negara mereka bisa dikenain ketentuan soal kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kan banyak tuh tentara-tentara AS di negara lain, terutama negara-negara Timur Tengah. FYI, Indonesia juga ga ratifikasi Statuta Roma. Takut jenderal-jenderal kita pada dibawa ke ICC kali, ya :D
Nah, cukup labil kan si AS ini? Mentang-mentang dia kece, jadi suka seenaknya. Oke, sekarang kita omongin Indonesia, Si Cowok Playboy yang masih Bocah.
Kenapa gue bilang Indonesia Playboy? Ngga kayak AS, Indonesia banyak banget ratifikasi perjanjian internasional. Menurut Hukumonline, Indonesia bahkan keseringan ratifikasi perjanjian internasional. Bahkan perjanjian-perjanjian yang sebetulnya ngga perlu-perlu banget diratifikasi sama kita. Yang bikin gemes, ternyata kita pun ga siap untuk membuat instrumen hukum nasional terhadap perjanjian-perjanjian internasional yang udah kita ratifikasi. Memang ga semua perjanjian internasional yang udah diratifikasi perlu dibuat instrumen hukum nasionalnya, tapi kan yang perlu untuk dibuat ya mbok ya dibuat. Terkesan bahwa Indonesia pengen banget eksis di dunia internasional, tapi ngga nyadar konsekuensi apa aja yang akan mereka hadapin ke depannya. Hence, Si Playboy Ababil.
Partisipasi di dunia internasional emang perlu. Tapi kalo ngasal aja, bisa-bisa malah buang waktu. Perlu diketahui, cuma negara-negara yang ratifikasi perjanjian internasional aja yang akan terikat sama perjanjian internasional itu. Yang bikin gue miris, Indonesia udah ratifikasi konvensi soal perlindungan buruh migran, tapi Arab Saudi (funny how the US and Saudi Arabia is both shortened as AS in Indonesian. Just a thought :D), tujuan dari banyak buruh migran kita belum ratifikasi. Jadi peraturan yang ada dalam perjanjian internasional itu ya ga mengikat mereka. Jadi kalo ada pelanggaran yang mereka lakukan berdasarkan konvensi itu, mereka ga bisa diminta pertanggung jawabannya dari konvensi itu. Yang bisa dilakukan? Diplomasi. Pret.
Jadi ya, kalo emang mau berkomitmen, baik konteksnya dalam percintaan maupun dalam hukum internasional, ya berkomitmen lah yang bener. Kalo emang mau sok ngatur-ngatur tapi di akhirnya lo malah kabur, kan ngga gentleman. Kalo mau mengikatkan diri sama seseorang atau sesuatu, ya liat-liat dulu sama subjek atau objeknya, jangan sampe nyesel. Pengennya berkomitmen sama cewek cantik yang tinggi, langsing, pinter, rajin beribadah, dan rajin menabung, eh malah dapetnya lintah darat yang bisanya ngisap darah lo pelan-pelan dan tanpa lo sadari, lo udah mati :D

Monday 10 October 2011

Ngga Mau Pakai Jilbab!!!


“Sebelum jilbabin muka, mending gue jilbabin hati gue dulu.”

“Ih, dasar cewek jilbab muna’. Masa’ jilbaban tapi masih pacaran?!”

“Make jilbab kok bajunya ketat? Mending ga pake jilbab sekalian”

“Pake jilbab kok kelakuan sama omongannya masih jelek sih?!”

“Gue pake jilbabnya nanti deh, belum dapat ilhamnya nih”

Harap dicatat, kesaksian-kesaksian -pemakaian ‘bullshit’ terpaksa disubstitusi karena dirasa terlalu jujur- di atas lebih banyak disumbangkan oleh para wanita yang tidak memakai jilbab.

Sense the irony?

Setahu saya, perintah pemakaian jilbab bukan eksklusif bagi mereka yang sudah mendapatkan pencerahan. Sepanjang yang saya dengar, pemakaian jilbab tidak melulu untuk mereka yang lembut tutur kata dan gemulai perbuatannya. Saya yakin, perintah pemakaian jilbab dalam kitab suci tidak mensyaratkan apa-apa. Perintahnya jelas: tutup auratmu.

Bahwa kemudian banyak pemikir yang menginterpretasikan perintah tersebut dengan bermacam dalil, bukan itu yang hendak diangkat.

Saya ingin mengangkat fakta sederhana bahwa ternyata yang digunjingkan bisa jadi lebih terhormat daripada Sang Penggunjing. Bahwa ada orang munafik teriak munafik, dengan lantang dan bangga. Bahwa Si Terdakwa telah dinyatakan bersalah oleh Pelanggar, karena telah menjadi seorang taat.

Monday 26 September 2011

Bukti Mental Ndableg Tak Lekang Oleh Waktu

Coba teman-teman perhatikan lirik dari lagu berikut ini. Lagu ini judulnya Distorsi dari Ahmad Band. Menurut Wikipedia, band ini hadir pada tahun 1998. 13 tahun yang lalu. Yet the lyrics are still so much relevant. 


Bravo.


=========================================================


maunya selalu memberantas kemiskinan
tapi ada yang selalu kuras uang rakyat
ada yang sok aksi buka mulut protas protes
tapi sayang mulutnya selalu beraroma alkohol

reff :
yang muda mabuk, yang tua korup 2x
korup terus, mabuk terus
jayalah negeri ini, jayalah negeri ini

(merdeka...!!)
maunya selalu menegakkan keadilan
tapi masih saja ada sisa hukum rimba
ada yang coba - coba sadarkan penguasa

tapi sayang yang coba sadarkan
sadar aja nggak pernah
setiap hari mabuk....
ngoceh soal politik

setiap hari korup
ngoceh soal krisis ekonomi
perut kekenyangan bahas soal kelaparan
kapitalis sejati malah ngomongin soal keadilan sosial

selalu monopoli!
ngoceh soal pemerataan
setiap hari tucau
ngoceh soal kebobrokan

Tuesday 13 September 2011

Here's The Green Light. Go(?)

What do you do when all the signs are smacked upon your face?

What should you do when the answer is as clear as an angel's heart? -should there be one.

What could be your reasoning -or rather, excuse- when the reason beacons brighter than Vin Diesel's bald head?

You do. You answer. You reason.

You act.

Monday 12 September 2011

The Land of the Free. The Home of the Prihatin.

Indonesia tanah air Beta, akan selalu Beta cinta. Tidak tahu Alfa dan Gamma.

Indonesia tanah yang luhur, makmur, dan -beberapa tahun ini- penuh genangan lumpur.

Indonesia tanah pusaka. Tempat berlindung di hari tua. Untuk pendosa.

Indonesiaku...
Yang muda mabok, yang tua korup. (Terima kasih Distorsi untuk kata-katanya yang relevan hingga kini)
Yang muda menyuarakan -menurut mereka- suara rakyat, yang tua korup.
Yang muda larut dengan musik yang terdengar seperti gitar di-setem, berulang-ulang, yang tua korup.
Yang muda apatis, yang tua korup.
Yang muda merasa tahu segalanya, yang tua korup.
Yang muda juara olimpiade internasional, yang tua....... ya korup.


Beringin -seperti aslinya- makin bau pesing, sedangkan Padi dan Kapas menjadi konsumsi kaum kanan. Oh, maaf. Kanan menengah.
Ka'bah dikomersialisasi religius nasionalis, begitu pun Bulan dan Bintang Sabit. Padahal, bulan dan bintang katanya adalah sui generis (atau common heritage of humankind, lupa).
Banteng setia menjadi pseudo-representasi wong cilik, dengan perutnya yang tambun.
Dan KEBO? Yah.... Kebo akan senantiasa prihatin.

Merdeka!!

NB: Kalau tidak tahu apa itu sui generis atau common heritage of mankind, Google is only a click away.

Friday 2 September 2011

Selamat Lebaran. Semoga Berkah.

Lucu.

Pas lebaran, gue minta maaf ke salah satu mantan gue dan nitip salam ke temen-temennya.

Reaksi dia.... Yah, bisa dikatakan permintaan maaf gue ditolak. FYI, dia ga minta maaf ke gue (padahal kan lebaran, iiiihh parah banget :p).
Bukannya gue berharap dia minta maaf ke gue. Ngga sama sekali. Cuma..... Kok ya ngga merasa bersalah aja yah.
Giliran gue minta maaf, ditolak mentah-mentah *straight face*

Post ini bukan ajang gue untuk menjelek-jelekkan mantan gue. Bukan.
Post ini justru untuk menampar gue (dan yang membaca, semoga) untuk menyadari bahwa keikhlasan itu penting.
Minta maaf itu gampang, memberi maaf untuk orang lain itu susah. Tapi memaafkan diri sendiri, itu yang butuh perjuangan :)
Ketika kita meminta maaf dari orang lain, baiknya kita sudah memaafkan orang itu.
Untuk apa? Ngga butuh alasan kan untuk maafin orang? :)

Silaturrahmi itu penting. Banget.
Nyadar ngga tiap kali ada yang ulang tahun, dinyanyiin lagu yang liriknya 'panjang umurnya'?
Padahal umur orang udah dipatok sama Tuhan. Lah, terus makna panjang umurnya di situ apa dong?

Tadi siang gue ke arisan keluarga besar almarhum kakek gue. Sebelum acara ada tauziah dulu.
Inti tauzia-hnya, silaturrahmi itu penting untuk memanjangkan umur. (Kenapa memanjangkan umur lagi????)

Ternyata, yang dimaksud memanjangkan umur di sini adalah dengan banyak-banyak berkenalan dengan orang lain, silaturrahmi, membina hubungan baik sama orang lain.
Karena kalo hubungan kita baik sama orang lain, ditambah kita berkarya, kita akan terus dibicarain dan dikenang sama orang lain.
Bahkan jauh setelah kita meninggal.

Saat merayakan ulang tahun, kita berinteraksi dengan orang lain.
Datang ke arisan keluarga, kita bersilaturrahmi dengan orang lain.
Umur kita makin panjang.

Itulah makna posting kali ini.
Ikhlas. Hablumminannaas. Berlaku baik ke orang lain. Bahkan kalo orang lain berlaku jahat ke kita :)

Selamat Idul Fitri. Mohon maaf untuk kesalahan-kesalahan gue yang udah lewat yah! :D

Tuesday 26 July 2011

Ketika Goresan Ide Bersuara

Seketika aku terbangun. Saat ini pukul 2 lewat 7 menit. Dini hari.

Aku terbangun dengan ratusan kata mengerubungi benak. Kata-kata yang tersambung, ide-ide yang beriring. Semua karena ratusan kata yang kulahap beberapa hari terakhir.

Kini kata-kata tak berhenti mengalir dari otakku. Mereka ingin dirangkai. Mereka ingin dipersatukan. Mereka ingin bercerita.

Ya. Kata-kata itu ingin bercerita.

Kata-kata itu ingin dianggap layaknya makhluk hidup. Karena sejatinya, ia pun makhluk. Ciptaan. Ia pun hidup. Dalam tiap imaji.

Ketika kata-kata itu ingin bercerita, aku tak kuasa. Kusebar saja kata-kata tanpa makna.

Selama kata-kata itu bercerita.

Saturday 2 July 2011

Quo Vadis Diplomasi Indonesia

Zero enemies, a thousand friends. Pernah dengar ungkapan itu? Ungkapan itu pernah dinyatakan oleh presiden SBY sebagai pandangan kita dalam berpolitik di dunia internasional. Pernyataan tersebut dianggap oleh beberapa kritikus sebagai pandangan yang tidak jelas, ditambah dengan kegemaran kita untuk menyatakan diri sebagai negara netral –terutama sebagai anggota Negara-Negara Non Blok-, pandangan tersebut semakin menegaskan konsistensi Indonesia sebagai negara ‘pengecut’. Namun, benarkah Indonesia adalah negara pengecut?

Dulu Indonesia dikenal sebagai salah satu macan Asia. Dulu, semasa presiden Soekarno, Indonesia sangat tegas dalam mengemukakan pendapatnya dalam pergaulan internasional. Mulai dari konfrontasi dengan Malaysia, memutuskan keluar dari PBB, hingga mengatakan ‘go to hell with your aid’ kepada Amerika Serikat. Ya, dulu Indonesia adalah negara yang garang. Tapi sekarang Indonesia tidak lebih dari sebuah kura-kura yang berjalan lamban sebagai sebuah negara, termasuk dalam hal diplomasi. Indonesia pun terkadang ragu-ragu untuk bertindak. Persis seperti kura-kura, yang terkadang tidak berani keluar dari cangkangnya.

Dengan kebijakan luar negeri yang ‘Bebas Aktif’, Indonesia berharap untuk dapat berperan serta dalam dunia internasional tanpa perlu memihak kepada pihak-pihak tertentu. Kebijakan ini sering dikritik karena menunjukkan ketidak beranian Indonesia untuk memihak. Tidak dipungkiri lagi, dalam dunia internasional terdapat kubu-kubu yang terpolarisasi antara Amerika Serikat-Eropa dengan Cina dan antek-anteknya. Namun apa salahnya apabila Indonesia ingin aktif dalam dunia internasional tanpa berpihak? Bukankah dengan menyatakan kita di tengah sudah menyatakan bahwa Indonesia berpihak ke ‘jalan tengah’?

Yang harus dikritisi di sini bukan lah ketidak mampuan, atau tepatnya ketidak mauan, Indonesia untuk berpihak. Yang harus dikritisi adalah ketidak mampuan Indonesia untuk menunjukkan bahwa kita adalah negara yang besar. Berkali-kali saya mendengar, tentunya ini keluar dari WNI sendiri, bahwa Indonesia adalah negara yang besar. Betul. Dalam hal luas wilayah dan jumlah penduduk, Indonesia adalah negara yang besar. Namun apakah benar kita adalah negara, atau bangsa, besar yang dihormati oleh negara-negara lain? Mari kita lihat beberapa contoh yang sudah ada.

Beberapa hari terakhir kita dikejutkan dengan pemberitaan adanya TKW kita yang dihukum pancung oleh pemerintah Arab Saudi. Pemerintah menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui bahwa TKW tersebut akan dieksekusi pada waktu yang ditentukan. Shame on them. Seharusnya pemerintah melakukan penyelidikan yang lebih baik lagi mengenai hal itu. Menlu Natalegawa akhirnya menyatakan bahwa pemerintah menyatakan permintaan maaf melalui Duta Besarnya di Indonesia. Berita yang langsung dibantah oleh Duta Besar yang bersangkutan. Pemerintah menipu? Mungkin saja. Pemerintah kemudian menyatakan akan menjalankan moratorium TKI ke Arab Saudi bulan Agustus. Kabar terkahir yang saya dengar, pihak Arab Saudi menyatakan mereka akan melaksanakan moratorium tersebut pada bulan Juli. Ironis. Pemerintah Indonesia tidak dipandang sama sekali oleh Arab Saudi. Seakan Indonesia tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka.

Dalam kasus ekspor sapi Australia pun DPR menginginkan, kalau tidak dapat disebut memohon, agar ekspor tersebut dicabut. Meskipun Faisal Basri sudah menyatakan kita dapat mengimpor sapi dari negara lain, toh kita masih berharap ada sapi dari Australia.

Lalu siapa yang tidak ingat kasus perompak Somalia? Berapa lama waktu yang harus dihabiskan ABK kita dalam kekangan para perompak? Padahal, Malaysia dan Korea Selatan dapat menyelesaikan masalah yang sama dengan sangat cepat dan tanpa korban jiwa. Indonesia? Berkompromi dengan penjahat. Pantas saja negara ini banyak penjahatnya, ternyata pemerintah kita doyan berkompromi dengan penjahat.

Contoh terakhir, mengenai pengambilan wilayah kita oleh negara lain. Lupakan kasus Sipadan & Ligitan, itu karena kebodohan kita sendiri tidak bisa mengusahakan pulau-pulau sendiri. Kasus yang lebih memalukan adalah adanya pemindahan patok yang dilakukan oleh Timor Leste di perbatasan. Lihat pelakunya, Timor Leste!!! Kalau kita bisa dikangkangi oleh negara kecil macam Timor Leste, bayangkan apa yang Amerika Serikat dapat lakukan kepada kita.

Bagi saya, permasalahan diplomasi Indonesia bukan disebabkan oleh kebijakan luar negeri atau pandangan politik luar negeri yang dimiliki Indonesia. Permasalahannya lebih besar dari itu. Masalah ini masih menjadi permasalahan kita sebagai satu bangsa. Yaitu masih berkembangnya mental terjajah diantara warga.

Kebanyakan dari warga Indonesia masih memandang rendah diri sendiri, bahkan negara sendiri, dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama Amerika Serikat dan Eropa. Perlakuan berlebihan kita terhadap ekspat yang ada di sini pun makin menunjukkan kita masih menganut mental inlaander yang kronis sekaligus akut. Masih adanya mental inlaander itu yang akan terus menghambat kita untuk terus maju sebagai sebuah bangsa.

Masalah ini adalah masalah kita bersama, kawan. Kita harus terus mengembangkan diri kita sendiri dan harus memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Apabila berurusan dengan masalah dalam negeri, kita harus terus kritik pemerintah agar kinerjanya tetap terjaga. Namun apabila kita berurusan dengan negara lain, maka ungkapan right or wrong, it’s my country harus terus kita pegang.

Jangan sampai harga diri kita diinjak-injak oleh londo-londo yang sebenarnya hanya berbeda warna kulit dari kita. Kita harus sadar bahwa kita adalah bangsa yang besar. Kita memiliki tanggung jawab yang besar untuk berperan aktif dan melakukan perubahan di dunia internasional. Namun jangan sampai terjebak dengan chauvinisme berlebihan. We don’t need another USA in this world.

We are the change that Indonesia needs. Be that change. Let’s make a better, a more respectable Indonesia for us, for our children, and for our children’s children.

Friday 17 June 2011

Pentingnya Seorang Follower

Siapa yang pernah ikut workshop atau seminar soal kepemimpinan? Gue yakin sebagian besar dari kita pernah ikut, atau paling tidak, mendengar soal workshop dan seminar kepemimpinan.

Negara kita pun katanya lagi krisis kepemimpinan. Betul? Yah, bisa diperdebatkan lah.

Tapi pernah ga kalian berpikir kalo kepemimpinan, atau pemimpin for that matter, terlalu over rated? Dulu, gue berpikir kalo sebuah kelompok, organisasi, atau kumpulan sekalipun akan berjalan dengan baik kalo pemimpinnya bagus. Oke, teamwork memang penting, tapi kalo pemimpin ga bisa mengkondisikan suasana kerja yang nyaman dan menyenangkan, jangan harap bisa menghasilkan teamwork yang baik.

Tapi pemikiran gue di atas agak goyah sejak nonton salah satu video waktu menghadiri event TEDxUI. Video itu ga lama. Ga sampe 10 menit. Tapi maknanya dalem banget buat gue. Kenapa dalem?

Di video itu, speaker mencoba menjelaskan bahwa peran seorang pemimpin ternyata ga sebesar yang orang-orang kira. Peran terbesar adalah justru ada di pengikut (follower) pertama dari pemimpin itu. Karena follower itu, si pemimpin dengan idenya jadi ada pengikutnya. Karena ada pengikutnya, ide itu ga sekedar ide belaka, tapi udah jadi gerakan. Karena satu follower itu, orang-orang lain pun ikut dalam gerakan itu.

Jadi, di video itu ada seorang yang tiba-tiba aja joget-joget ga jelas di tengah kerumunan orang yang lagi piknik. Semua orang ngeliatin dia seolah-olah dia orang aneh. Sebuah anomali diantara orang-orang ‘normal’ yang ga joget. Tapi setelah itu ada satu orang yang ikut joget sama dia, bahkan jogetnya lebih seru dari dia. Kemudian ada satu orang lagi yang ikut joget. Lalu tambah lagi satu. Tambah tiga lagi. Tambah segerombolan. Dan bertambah lagi, dan bertambah lagi. Sampai mayoritas orang-orang yang ada di sana joget bareng-bareng.

Saat itu, siapa yang jadi anomali? Jelas yang jadi anomali sekarang adalah orang-orang yang ga ikut joget. Mereka seakan jadi outcast dari orang-orang yang asik goyang-goyangin badannya walaupun ga jelas gerakannya apa. Hebat ya orang yang joget pertama bisa narik segitu banyak orang? Nope. Justru yang hebat adalah follower yang pertama itu.

Karena follower yang pertama, ide bahwa joget-joget ga karuan di tengah kerumunan suddenly makes sense untuk orang lain. Karena itu pula, orang-orang pun berani untuk gabung sama mereka. Oke lah si ‘pemimpin’ punya ide pertama kali untuk mendadak joget di tengah kerumunan, tapi follower itu yang jadiin si ‘pemimpin’ itu ngga sekedar jadi orang-gila-yang-joget-joget-ga-jelas.

Inti dari video itu adalah: seorang pemimpin mungkin adalah orang yang punya ide untuk melakukan sesuatu, tapi transformasi ide itu untuk menjadi gerakan ga bisa dilakukan sendiri oleh si pemimpin itu. Pemimpin butuh pengikut yang mau ikut menjalankan ide yang dia punya. Sebuah ide akan tetap menjadi sebuah ide kalo ga dijalanin. Kalo menurut lo sebuah ide cukup baik untuk dijadikan gerakan, gabung lah dengan gerakan itu. Karena sebaik-baiknya sebuah ide, kalo ga ada yang ikut menggerakkan ide itu, akan selamanya jadi ide belaka.

You may not always be a leader that comes up with brilliant ideas. But you can always be that particular follower that triggers those brilliant ideas into brilliant movements.

Wednesday 15 June 2011

Blatant If You May. Apologise, You Shall Do.... Not!!!

If there's one thing I despise about Indonesia, is their lack of sense in 'good' humor. I despise it so much, it makes me wanna puke.

Selasa malam, gue membuat suatu kesalahan. Begitu lah kata beberapa orang. Gue menulis UNiversitas PAsti Doktor untuk merujuk kepada UNPAD (Universitas Padjadjaran) di Twitter. 'Salahnya', gue nulis itu bukan di akun pribadi gue, tapi di akun bareng-bareng. Gue juga mempertanyakan sih, itu aku masih bareng-bareng atau ngga. Karena ternyata gue doang yang aktif posting di sana. Well anyway, tindakan itu mengundang kritik, bahkan cacian dari beberapa orang Unpad yang follow akun itu. Ada yang minta gue minta maaf. Harus kah gue minta maaf?

Terus terang, gue males nanggepin segerombolan orang-orang sensitif yang -menurut @HukumYeah- Esprit de Corps-nya terlalu tinggi. Bahkan lebay menurut gue. Kalo ada yang mau hina-hina UI atau SMA gue, gue ga masalah. Akan gue ikutin aja mereka. Toh UI pun ga bagus-bagus amat. Walaupun gue udah bilang itu tanggapan bercandaan terhadap tweet @HukumYeah, masiiiiiiihhh aja ada yang mbacot.

Akhirnya, gue minta maaf. But I won't go down that easily. I had to pinch those sorry asses, even for a little bit. My dear friend Fina said that while I'm underestimating them, I'm also making myself look big. In her Twitter account she also mentioned something about disrespecting others and something (I won't dare reckon that was for me :p). But honestly, I wasn't underestimating them. Nope, I'm simply stating a fact.

I'm stating a fact that not all Indonesians can accept blatant comedy. Hell, not all Indonesian can be verbally blatant or addressed blatantly. Most Indonesians are, if I may use the terms, 'sensi' and easily react 'lebay'-ey. Most Indonesians are blinded by the concept of 'toto kromo' and what-not, that sometimes they look stupid. Shielding behind the rusted concept and picking on those who dare speak -or in my case, joke- blatantly.

I despise stupidity. Really. I'm not saying that I'm the smartest lad in the universe, no. I just hate stupidity, and hence, I hate stupid people. I despise the gobloks more than the maleses. Even more, I despise sensi and lebay people the most. Can't they just have a good time and enjoy laughing at other people and -okay, not every person can do this- themselves?

I will not, I emphasise, I will not apologise for others lack in sense of humor or reference. If you want to argue with me, you better come up with good arguments. I will gladly admit my err if the argument can not be rebutted. Otherwise, your words will be in the bottom of my Trash icon. Then emptied.

As The Joker in The Dark Knight puts it, why so serious? Or rather, why so stupid?

Monday 13 June 2011

Sunday 5 June 2011

A Plan Is Nothing. Planning Is Everything.

Puji Tuhan gue dikasih pacar yang sangat suportif.

Beberapa kali gue ceritain dia soal rencana-rencana besar, dan rencana trivial, gue dalam hidup. Mungkin sampe kupingnya panas. Gue cerita soal acara baru, soal konsep blog baru, soal konsep karakter Twitter baru, soal....... Ada deh, nanti gue ceritain lagi :D Tapi abis itu dia ngomong "Sayang, kayaknya kamu kebanyakan rencana deh. Kapan mau dikerjain lagi?" atau "Bagus sih, tapi jangan lupa kerjain skripsi kamu ya". JLEB!!!

Waktu mencalonkan diri jadi ketua BEM di kampus, guw ditanya sama salah satu pemilih potensial. "Naufal, lo konseptor atau orang lapangan?", gue jawab "Gue bisa dua-duanya dengan sama baik, tapi gue lebih tertantang kerja di lapangan". Jawaban dia bikin gue kaget. Dia bilang, "Ah yakin lo pekerja lapangan? Menurut gue, lo malah seorang konseptor. Liat aja ini ide-ide lo buat kampanye, menurut gue bagus. Program kerja yang lo tawarin juga lumayan. Gue kenal lo udah lama, gue tau lo konseptor bagus. Tapi, lo kebanyakan ide di otak lo. Gue ngga yakin lo bisa kerjain semuanya sendiri. Syukur-syukur ada yang bantuin lo, kalo ga ada? Saran gue sih, kerjain aja dulu pelan-pelan semua ide lo. Percuma punya banyak ide tapi ga ada yang terealisasi kan?"

Kayak kesamber petir di siang bolong, omongan dia bikin gue diem. Secara harafiah gue diem. Untuk beberapa menit, gue diem. Mikir. Trus orang itu tiba-tiba bilang "Tuh kan, baru dibilangin udah ngulangin kesalahan lagi. Lo kebanyakan mikir, kerjain dong!".

Terus terang, dari kejadian itu gue belum banyak berubah. Gue masih suka mikirin masalahnya dulu sebelum dikerjain. Karena pada dasarnya gue emang ga mau melakukan sesuatu kalo belom jelas keadaannya. Tapi, sekarang gue udah mulai bisa ambil keputusan-keputusan cepat dalam keadaan yang mepet.

Kalo ada satu hal yang gue pelajari dari bertahun-tahun berorganisasi di kampus, adalah: LO HARUS PUNYA INISIATIF TINGGI KALO MAU JADI PEMIMPIN.

Kalo lo ga punya inisiatif (plus instinct yang bagus :p), lo ga akan pernah bisa jadi pemimpin.

Selain inisiatif, lo harus punya perencanaan yang baik. Bukan rencana, perencanaan. Lo harus bertindak, ngga cuma dalam tahap pewacanaan aja.

A plan is nothing, because it will simply be a plan. But planning is everything, because it transforms into actions.

Thursday 2 June 2011

Love? Bullshit...

Why is it that everytime I open up myself to someone, I just end up getting hurt?

It's just one time too many.

Monday 9 May 2011

Terima Kasih, Pandji Pragiwaksono

Kalo liat dari judulnya, mungkin akan terkesan sangat pereus. Mungkin terkesan gue pingin jilat pantat untuk naik gaji (walaupun gue ga nolak sih kalo beneran :D ). Tapi beneran deh, gue harus menunjukkan rasa terima kasih gue ke seseorang yang udah menginspirasi gue untuk melakukan hal yang berguna. Gue mau berterima kasih, secara publik, ke Pandji Pragiwaksono.

Sebagai mahasiswa hukum (ya, gue masih mahasiswa. Jangan tanya udah semester berapa), gue terdidik untuk jadi seorang akademisi hukum. Paling ngga, kesan itu lah yang ada kalo lo belajar hukum di universitas tempat gue belajar. Sepanjang gue aktif jadi mahasiswa, pikiran gue adalah soal akademis murni. Ngga kebayang sama gue untuk melakukan sesuatu di luar hal yang berkaitan dengan akademis kalo soal hukum. Karena toh di kampus pun acara-acara yang ada semuanya dikemas secara kaku. Mau namanya workshop, mau namanya seminar, kesannya pasti kaku. Walaupun temanya bagus, tapi tetap aja penyampaiannya kaku. Gue pun terdogma untuk berpikir kalo gue ga bisa melakukan sesuatu untuk dunia hukum sebelum gue jadi sarjana hukum. Setelah gue mengenal Pandji, sebagian besar dari pikiran gue berubah.

Kalo lo udah ikutin Twitter-nya Pandji dari lama, dia selalu ngomong ada dua jenis anak muda: 1. Yang selalu menuntut perubahan. 2. Yang mencipatkan perubahan. Dengan didikan yang gue terima, gue menjadi mahasiswa yang bisanya cuma ngedumel, cuma bisa menuntut perubahan. Kalo pun menciptakan perubahan, paling yang kecil-kecil aja. Sekian lama bergaul dengan makhluk over-weight satu itu, gue terpikir untuk menciptakan sebuah perubahan yang lumayan signifikan. Gue pengen mengenalkan hukum ke orang-orang awam hukum, minimal yang mau belajar hukum itu apa.

Perjuangan gue dimulai dari Twitter. Dengan hashtag #Legal101 gue mulai ngejelasin ilmu hukum dasar. Banyak pro kontra di sini. Temen-temen gue yang dari fakultas hukum protes, gue dibilang sotoy. Mereka udah mumet sama pelajaran di dalem kelas, trus gue masih juga bahas itu di Twitter. Hasilnya, beberapa temen gue unfollow gue di Twitter. Di satu sisi gue ngerasa kesel, tapi setelah itu gue justru mikir gue harus punya wadah tersendiri kalo mau ngomongin hukum. Biarlah akun @NaufalFileindi jadi tempat gue menggalau ria tanpa dinodai omongan serius soal hukum. Jadi lah akun @Legal1O1 di Twitter.

Harus gue akuin, awal-awalnya gue masih bisa handle akun itu. Karena toh gue udah diajarin hampir semua cabang ilmu hukum di bangku kuliah. Tapi kemudia gue mulai keteteran karena followers @Legal1O1 makin banyak, tuntutan untuk nyeritain cabang ilmu hukum secara mendalam juga makin banyak. Akhirnya gue ngajak temen-temen gue di kampus untuk bantu gue. Ada mbak @kikikuik, @radianadi, @marrylane, @hbonan, dan @ranggalanang. Akhirnya, cuma sebagian dari kita aja yang masih aktif posting di akun @Legal1O1.

Gue ga merasa akun di Twitter cukup untuk nyebarin ilmu soal hukum. Gue pun berinisiatif untuk bikin blog khusus yang ngebahas soal hukum. Singkat kata, blog lexomnibus.wordpress.com gue bikin untuk mengakomodir pemikiran gue dan temen-temen lainnya untuk berbagi ilmu dan pengalaman di bidang hukum. Alhamdulillah, respon dari orang-orang lumayan.

Selain Twitter dan blog, gue udah mikirin cara lain untuk nyebarin ilmu gue. Karena ini passion gue, nyebarin ilmu yang gue punya ke orang lain. Syukur-syukur bisa berguna untuk orang lain.

Kalo ga ketemu Pandji, mungkin gue ga akan kepikiran untuk ngelakuin hal-hal yang udah gue sebut di atas. Pandji udah menggerakkan gue untuk ga cuma nuntut dan nunggu perubahan, tapi lebih baik menciptakan perubahan itu sendiri. Gue pun tertantang untuk melakukan sesuatu untuk dunia hukum sebelum gue menjadi sarjana hukum.

Sekian lama gue mikirin passion gue apa. Akhirnya gue bisa mendefinisikan passion gue sendiri. Sekarang, gue suka menyebut diri gue sebagai pembawa pesan, a messenger. Lebih khususnya, pembawa pesan untuk hukum. Dan untuk itu, cuma ada satu orang yang bisa gue kasih rasa terima kasih gue, Pandji Pragiwaksono.

Tuesday 26 April 2011

A New Design. A New Method. Old Ideas.

Sebagai mahasiswa hukum, apa yang jadi minat gue? Secara das sollen, seharusnya ilmu hukum.
Untuk mencari ilmu hukum, di mana tempat yang paling gampang? Di era modern ini, katanya sih tempat paling gampang nyari bahan ya di mbah Google.
Kalo udah nyari di mbah Google trus dapet, piye? Ya dibaca!!

Selama gue mencari materi hukum untuk penulisan/penelitian ataupun blog hukum yang sederhana, gue menemukan kesamaan yang cukup signifikan: SUSAH BANGET BACANYA!!!

Untuk gue aja (patokannya tinggi sih :p) susah, apalagi untuk orang yang ga ngerti hukum tapi pengen tau hukum?
Hasilnya? Bosen.
Kalo udah bosen, orang ga akan tertarik.
Kalo ga tertarik, orang ga akan mau untuk mendalami subjek itu.
Gimana orang mau tertarik, atau paling ngga mau tau, soal hukum kalo bahasanya aja udah njelimet?
Gimana orang mau paham hak-haknya kalo tiap kali mereka mencari referensi, yang ada cuma analisis-analisis berat (terlepas komprehensif atau tidak) yang malah tambah bingung?

There has got to be some way to introduce law to laymen, that won't create more frowns on their already wrinkled foreheads.
This, my friends, is my purpose in life.
I will dedicate myself in introducing law to people, in a way that they can easily understand it.
Even if it means I have to cram myself with lots of boring subjects and literatures.
We gotta have a martyr. Lots of martyrs. To make a better Indonesia.

Fiat justitia et pereat mundus.

Wednesday 13 April 2011

About My Passion

I'm writing this post around half past one in the evening. I don't even know why I wrote this post. But maybe it has something to do with reading @pandji's and @radityadika's blog. I was supposed to be studying for this morning's exam. Yes, supposed to. Even though I had the urge to study, but still, Castle is a far more interesting distraction.

Speaking of the exam, I am fully aware that I'm a senior. Well, the senior's senior actually. I've been lacking on my graduation and, sadfully but true, is a year short on graduation. But what the hey, I don't take it as a serious matter to over ponder. The reason I even took another class is about the class itself. It's about intellectual property rights. A law regime that is very unorthodox for Indonesia's culture. But we'll skip the explanation for further information. Since I joined Provocative Proactive, I've been introduced to an abundant amount of creative people. Those guys introduced me to a completely different world that I've been living in. A world that I've been living in is an uptight-pressured world that pushes you to have a steady job, get married, have children, and live happily ever after. Not that these people aren't living the life of their dreams, but their lives are more...... how can put it...... colorful. They're living by their passion. And it's making them a happier person.

After struggling to find my passion these past couple of years, I'm nearing to find it. I know that I am into law, but I don't think that I will be lawyering for the rest of my life. I actually want a 'life' :p Some of my fellow law students said that I'd be a terrific lawyer. I would not contest that statement, but might as well do. If by lawyer they mean a zombie-like person who sleeps less that 30 hours per week, then I don't want to have that life. But then again, bang @ajisuleiman mentioned something in his tweet. He said, (more or less) if you are doing something that you love, then sleep can wait. For me, it's reading. Reading loads of stuff that I don't have any idea about before. After that, it's writing. I enjoy the process of writing, but I enjoy even more the editing part. Maybe it has something to do with my minor OCD hehehe. If I love reading and writing so much, then why isn't my thesis finished yet? Well, I can only blame myself for that. I've been reading pretty lot about the topic, I've come to an answer to my thesis. Maybe that's the reason I am not fond to finish my thesis. Find another subject? Dude, this is already killing me, you tellin' me I should start from the beginning again?!?!

There's another activity that I enjoy doing. Sharing my knowledge to others. Maybe that is the reason why I created the @Legal1O1 account in twitter and creating the lexomnibus blog. This is my way to make the Indonesian people more aware of the law, and to share my thoughts to others. I also have two other projects, but I'd prefer to talk about that some other time :)

I am still unable to pinpoint what my passion is exactly. Maybe I'd have to have a discussion with Rene Soehardono first hehehe. I think I have to answer @mrshananto's famous line first: "tujuan lo apa?" :p

Monday 7 March 2011

Life's Moving. Are You?

Gue nulis ini sambil nulis skripsi. Wasting precious time, some would say. For me, it's another contemplating moment.

Setelah ngerjain skripsi ini selama setaun lebih, gue menemukan sebuah konklusi sederhana. Gue ngga berkembang sama sekali.

Setaun lebih gue ngerjain skripsi ini dengan semangat yang sama, dengan bahan yang cuma bertambah segelintir, dengan cara yang sama pula. Einstein bilang, gila kalau mengharapkan hasil yang berbeda dari cara yang sama. Ya, bisa dibilang gue gila karena mengharapkan hasil yang sensasional dengan niat seujung kuku.

Banyak tantangan yang gue terima akhir-akhir ini, yang paling berat gue harus mengkonsep sebuah acara baru dari Pandji (dengan segala persiapannya). Tantangan-tantangan yang membuat gue semakin kreatif dalam mengembangkan pola pikir, tantangan yang membuat gue semakin giat mengasah otak. Tapi, skripsi ga berjalan sebagaimana mestinya.

Analogi yang paling sering gue pake untuk menjelaskan hubungan platonik gue dengan skripsi adalah hubungan suami istri yang udah menikah selama 30 tahun. Skripsi adalah si istri, yang harus dijamah setiap hari, dikasih perhatian lebih, dan diperhatikan segala detil tentangnya. Tapi kemudia muncul 'wanita-wanita' lain yang sebenarnya cuma selingan. Layaknya laki-laki normal, pasti gue melirik godaan itu. Wajar. Yang ga wajar adalah gue kemudian menelantarkan istri gue. Padahal kalo gue merawat istri gue dengan baik, akan lahir 'anak-anak' yang akan buat hidup gue semakin meriah dan sempurna. Gue akan menjadi 'laki-laki sepenuhnya'.

Trus apa gunanya post ini? Self reminder I guess.

Oh well, the whole world is moving, I should too. You all should to.

Deponeering dan Gugatan TUN

Oleh: Dhief Ramadhani

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) kembali membuat sensasi. Kali ini sensasi tersebut dibuat oleh Komisi III DPR yang membawahi bidang hukum. Sensasi ini bermula ketika DPR mengundang Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk hadir dalam rapat dengan Tim Pengawas Kasus Century pada hari Senin tanggal 1 Februari 2011. Dalam rapat itu Komisi III DPR mempermasalahkan kehadiran dua orang anggota Pimpinan KPK yaitu Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.

Di internal Komisi III DPR terdapat pendapat yang berbeda. Ada yang berpendapat Bibit-Chandra tidak boleh ikut dalam rapat karena masih berstatus tersangka. Sementara di sisi lain ada pula anggota Dewan yang berpendapat Chandra-Bibit bukan lagi tersangka karena Jaksa Agung telah mengeluarkan deeponering terhadap kasus yang melibatkan Chandra-Bibit. Akhirnya Komisi III DPR memutuskan bahwa mereka menolak kehadiran Chandra-Bibit dalam rapat tersebut.

Tulisan ini dibuat bukan untuk membahas mengenai status Chandra-Bibit. Melainkan mengenai hubungan keputusan deeponering dengan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Setelah kejadian di Komisi III tersebut, muncul beberapa pertanyaan saat Penulis berdiskusi dengan beberapa orang kawan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah Jaksa Agung merupakan Pejabat Tata Usaha Negara? Apakah keputusan Jaksa Agung terkait deeponering dapat digugat ke PTUN? Jika ya, siapakah yang kemudian berhak mengajukan gugatan ke PTUN terkait keputusan deeponering tersebut?

Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan salah satu lingkup peradilan di bawah Mahkamah Agung. Pengaturan mengenai PTUN terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Berdasarkan ketiga undang-undang tersebut, ada beberapa definisi yang perlu diketahui terlebih dahulu. Beberapa definisi tersebut adalah:

- Tata Usaha Negara (TUN) adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.

- Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

- Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

- Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan UU pula, definisi mengenai Keputusan Tata Usaha Negara (Keputusan TUN) kemudian dibatasi sehingga tidak semua penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dapat disengketakan atau digugat ke PTUN. Salah satu pengecualian tersebut adalah:

Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;

Sebagaimana telah diuraikan di awal, bahwa tulisan ini dibuat untuk membahas mengenai kemungkinan menggugat keputusan Jaksa Agung mengenai deeponering untuk digugat ke PTUN. Deeponering adalah salah satu kewenangan yang dimiliki Jaksa Agung untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum. Kewenangan ini berdasarkan ketentuan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung sendiri adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan.

Kejaksaan merupakan lembaga yang unik. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan. Posisi Kejaksaan kemudian menjadi unik karena meskipun berstatus sebagai lembaga Pemerintahan, namun wewenang Kejaksaan adalah termasuk dalam bidang yudikatif. Wewenang utama Kejaksaan adalah melakukan penyidikan dan penuntutan, yang notabene merupakan bagian dari alur penyelesaian sengketa di pengadilan (kekuasaan yudikatif).

Posisi yang unik ini membuat Jaksa Agung sebagai pimpinan Kejaksaan memainkan dua peranan, yaitu sebagai Pejabat TUN dan juga sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman (yudisial). Jaksa Agung dapat dikatakan sebagai Pejabat TUN karena berdasarkan definisi dalam UU PTUN, Pejabat TUN adalah pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan. UU Kejaksaan sendiri menyatakan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan, sehingga Jaksa Agung dapat disebut sebagai Pejabat TUN karena melaksanakan urusan pemerintahan.

Akibatnya keputusan yang dikeluarkan Jaksa Agung pun juga dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu keputusan yang bersifat administratif dan keputusan yang bersifat yudisial. Keputusan yang bersifat administratif adalah ketika Jaksa Agung mengeluarkan keputusan yang termasuk dalam lingkup administrasi negara, seperti dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Jaksa. Sedangkan Keputusan Jaksa Agung yang bersifat yudisial adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung dalam hal pelaksanaan kewajiban dan wewenang Kejaksaan, seperti penyidikan, penuntutan, dan juga deeponering.

Berdasarkan uraian di atas, Penulis berpendapat bahwa deeponering tidak dapat digugat ke PTUN karena keputusan Jaksa Agung perihal pengenyampingan perkara demi kepentingan umum (deeponering) merupakan keputusan yang dikeluarkan untuk menjalankan wewenang Jaksa Agung di bidang yudisial, bukan di bidang administrasi negara. Jika semua keputusan Jaksa Agung dikategorikan sebagai Keputusan TUN dan dapat digugat ke PTUN, maka berarti keputusan Jaksa yang menentukan berkas suatu perkara telah lengkap (lebih dikenal dengan istilah P-21) seharusnya juga dapat digugat ke PTUN. Hal ini tidak sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia.

Dengan demikian Penulis berkesimpulan bahwa keputusan Jaksa Agung perihal deeponering tidak dapat diajukan gugatan ke PTUN karena dua alasan:

1. Keputusan Jaksa Agung mengenai deeponering adalah keputusan Jaksa Agung di bidang yudisial dalam hal pelaksanaan kewenangan Kejaksaan untuk melakukan atau tidak melakukan penuntutan terhadap suatu perkara.

2. UU PTUN sendiri telah membatasi Keputusan TUN yang tidak dapat diajukan gugatan ke PTUN, dan Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana adalah termasuk Keputusan TUN yang tidak dapat digugat ke PTUN karena merupakan keputusan yang bersifat hukum pidana.

Sunday 16 January 2011

Hello, I'm Ted Mosby

Gue suka heran sama orang-orang yang baru keranjingan sama How I Met Your Mother (HIMYM) akhir-akhir ini. Serial itu kan udah ada dari 5-6 tahun yang lalu, kenapa baru hype-nya sekarang? Tapi bukan itu sih inti posting ini. Di HIMYM, ada satu karakter yang namanya Ted Mosby. Kata beberapa temen cewek gue yang cukup deket sama gue, gue sangat mirip sama Ted. Bukan mukanya, tapi kelakuannya. Wabilkhusus, perasaannya soal relationship sama pasangan.

To be frank, karakter Ted sebenernya ga unik-unik amat. Dia tipe orang sophisticated yang doyan sama ilmu dan ga takut untuk nunjukin kalo dia ‘berilmu’. Dia juga suka hal-hal yang ‘tinggi’, sesuatu yang sering dicela sama temen-temennya sendiri karena kata mereka Ted terlalu high maintenance. Karena sifatnya yang suka sama hal-hal tinggi itu, Ted pernah ngerasa kalo dia ga nyambung sama temen-temennya sendiri. Sifat-sifat Ted di atas juga gue rasain, gue juga sering ngerasa kalo gue beda kelas sama temen-temen gue karena gue suka hal-hal yang….. kelas tinggi :p Tapi ini mulai berubah sejak gue kenal sama Pangeran Siahaan. Intellectually and philosophically, we are on the same level. Or maybe he’s a bit higher than I am. Who cares, I’ve finally met my match *ehem*

Dari sekian banyak sifat Ted yang sama kayak gue, ada satu yang bikin gue iri. Ted itu super romantis. Sedangkan gue, walaupun juga suka hal-hal romantis, ga bisa nunjukin itu. Itulah kenapa pasangan-pasangan gue yang terdahulu ngomel karena gue bukan tipe cowok romantis. But believe me ladies, Naufal is a very romantic kisser and lover hehehe…

Nah, sifat Ted yang temen-temen cewek gue bilang sama kayak yang gue punya adalah sifat yang percaya sama kesucian cinta (okay, I know that that term is super cheesy). Gue percaya kalo emang ada seseorang yang akan jadi cinta sejati gue. Seseorang yang bisa ngelengkapin gue, yang bisa nerima gue apa adanya dan begitu juga sebaliknya. Seseorang yang akan jadi ibu dari anak-anak gue, dan yang akan jadi partner gue dalam hidup. In bitter or sweet. Gue bener-bener terbuai sama konsep cinta itu, sampe-sampe kadang gue suka ga mikir realistis. Tapi ayo lah, masa’ lo ga pernah ngerasa segitu yakinnya sama seseorang yang lo kenal kalo he/she is the one for you? Paling ngga untuk pacaran lah. Gue sih lagi ngerasain hal itu sekarang *ehem*

Kalo dipikir-pikir lagi, ada lagi sifat Ted yang bikin gue super iri. Buat yang pernah nonton HIMYM dari musim pertama, inget ga segitu jumpalitannya Ted negejer Robin sampe Robin akhirnya mau untuk jadi pacar dia? Sebagai cowok aja gue ngerasa itu sweet banget, apalagi cewek. Atau segitu jumpalitannya Ted untuk yakinin Stella kalo dia bener-bener serius sama Stella, sampe bela-belain bikin kencan kilat 2 menit (CMIIW) yang super sweet. Sampe sekarang, gue baru sekali segitunya ngejer cewek sampe usaha setengah mati. Bodohnya, gue ngelakuin hal itu ke cewek yang gue ga ngerasa yakin banget, walaupun akhirnya jadi pacar juga. Lain dari itu, gue terlalu pengecut untuk bener-bener usaha sama cewek yang gue suka. Mungkin karena gue terlalu takut. Atau karena ceweknya juga udah ngerasa muak sama gue. Tapi bukannya dulu Robin sama Stella juga udah kekeuh ga mau sama Ted?

Semakin ke sini, gue makin takut untuk berjuang buat cewek yang gue suka. Dan sialnya gue, justru cewek-cewek yang gue bener-bener suka malah yang menolak gue mati-matian. Sinyal buat gue untuk berusaha lebih keras? Kayaknya ngga. Gue pun malu untuk mengakui gue mirip sama Ted Mosby, karena takut untuk berjuang buat cewek yang gue suka. Mungkin secara mental, gue lebih mirip Barney. Sok kuat di luar, padahal di dalem rapuh dan takut disakitin sama cewek.

Saturday 15 January 2011

Over and Out

Semalam gue nonton serial How I Met Your Mother musim keenam. Di salah satu episode yang gue tonton, ada satu kejadian saat Robin disuruh menghapus salah satu nomor di daftar kontak telefon genggamnya oleh Lily. Nomor itu adalah nomor kontak Don, mantan pacar Robin. Ternyata Robin masih nyimpen perasaan terhadap Don karena dia belum dapet closure sejak mereka putus. Awalnya, Robin ga mau hapus nomor itu, wajar sih karena dia masih nyimpen perasaan (atau penasaran) ke Don. Tapi di akhir episode itu, Robin akhirnya bisa lupa sama Don. Nomor kontaknya pun diapus sama Robin. Setelah nonton episode itu, gue pun melakukan hal yang ngga gue kira bakal gue lakukan. Gue hapus nomor kontak dia dari telefon genggam gue.

Friday 14 January 2011

Rejected

Gue yakin kita semua pernah mengalami sesuatu yang bernama penolakan. Dalam hal apapun lah itu. Bisa jadi masalah kerjaan, bisa jadi masalah akademis, bisa jadi masalah hubungan sama orang. Gue pun pernah beberapa kali mengalami penolakan. Kadang kala, penolakan bisa terjadi karena ketidak cocokan kita sama kerjaan yang mau kita ambil, penilaiannya objektif. Ataupun penolakan yang dilakukan oleh pembimbing skripsi terhadap skripsi yang kita ajuin (ehem). Itupun sebenernya objektif, walaupun ada setitik subjektifitas yang berperan. Tapi apa jadinya kalo penolakan itu bersumber dari penilaian subjektif seseorang terhadap kita? Nah sekarang gue mau ngomongin masalah penolakan jenis ini. Jenis penolakan yang paling sering dirasain sama anak muda kayak gue, penolakan cinta (tssaaaaahhhh).

Penolakan cinta PASTI pernah dirasain sama semua orang. Temen-temen gue yang ganteng dan cantik juga ga lepas dari penolakan tipe ini. Gue, sebagai manusia bertampang pas-pasan, berselera humor yang aneh, sering dibilang ketus, dan tingkat intelejensia yang ga tinggi-tinggi amat sering banget ditolak. Gue ga nyalahin ceweknya, gue pun kalo ngeliat diri gue sendiri juga males. Nah bagian yang paling ngeselin, gue HAMPIR SELALU ditolak sama cewek yang gue bener-bener suka. Ngerti kan lo? Tipe orang yang lo yakin dalam hati kalo lo bakal jaga ini orang gimanapun caranya, orang yang bakal lo sayang gimanapun orangnya, dan orang yang pertama ada dipikiran lo pas lo bangun dan pikiran terakhir yang ada pas lo mau tidur. Ngenes? Pasti.

Harus gue akuin kalo emang ada beberapa orang yang juga sesayang itu sama gue. Tapi ya namanya perasaan, ga bisa dipaksain kan ? Makanya gue juga ngerti banget gimana rasanya menyukai seseorang yang ga punya perasaan yang sama ke gue. Sakit sih, tapi sekali lagi, perasaan ga bisa dipaksain kan ? Cuma emang rasanya sakit setengah mati. Lo udah sebegitu yakinnya sama seseorang, tapi orang itu cuma nganggep kita sebagai : temen (paling umum), kakak/adik (alasan tai), ngga sreg (cari-cari alasan aja), atau yang lebih parah, merasa risih kalo ada kita. Dari semua yang gue tulis, gue pernah rasain semuanya. Dan percaya deh, semuanya ga enak.

Sebagai orang yang lahir di bawah rasi bintang Capricorn, gue orangnya cukup keras kepala. Biasanya, gue selalu berjuang untuk dapetin apa yang gue mau. Puji Tuhan gue hampir selalu dapet apa yang gue mau. Tapi bodohnya, gue hampir selalu ga bisa perjuangin orang yang bener-bener gue suka. Gue hampir selalu menyerah di tengah jalan (sesuatu yang bikin temen-temen gue selalu geregetan). Gue ga tau alasannya, mungkin gue takut untuk berjuang. Mungkin gue takut hati gue sakit. Mungkin gue takut untuk ditolak. Lama-lama, hal ini jadi hal yang gue sesalin. Karena ga ada salahnya juga kan untuk dicoba ? Masalah besarnya, we are dealing with someone else’s feelings here. Bisa jadi orang itu malah kesel kalo kita usaha terus, karena dia udah risih sama kita. Gue selalu ga berani untuk take a chance. Tapi sekali lagi, mungkin gue emang takut sama penolakan.

Ditolak itu sakit. Apalagi kalo penolakannya dilakukan secara ga langsung. Gue tipe orang yang terus terang, ga gue mau segala sesuatu yang berhubungan sama gue juga jelas. Ya kalo lo emang ga mau sama gue, ngomong. Jangan cuma kabur aja entah ke mana. Sepait apapun alasan lo, gue terima. Asal lo ngomong langsung ke gue. Tapi kemudian pasti timbul masalah baru, awkwardness. Ini masalah yang hampir selalu muncul sama dua orang yang lagi pedekate. Kalo ditolak, pasti salah satu pihak (atau malah kedua belah pihak) ada yang ngejauh tanpa alasan yang jelas. Hal ini menurut gue sangat absurd. Emang ga bisa ya kita temenan? Emang ga bisa ya kita biasa-biasa aja ? Walaupun emang awalnya pasti aneh, ga ada salahnya untuk dicoba kan ?

Gue tipe orang yang ga mungkin berjuang untuk sesuatu (atau seseorang) yang menurut gue not worth fighting for. And for this, for You, it is worth fighting for. Gue ga peduli kalo dia prioritas gue, sedangkan gue (mungkin) cuma pilihan buat dia. Gue ga peduli. Yang penting, gue akan selalu ada untuk dia, dan dia tau itu. Tapi balik lagi, kita ga bisa maksa orang lain untuk punya perasaan yang sama sama apa yang kita punya.

Suka setengah mati sama orang yang ga punya perasaan yang sama itu sakit, jendral. Gue ga tau apakah gue bisa ‘mematikan’ perasaan itu lagi, karena terakhir kali gue ngelakuin itu, udah mau mati rasanya. Tapi paling ngga, gue masih tau kalo gue masih punya perasaan.

Pandji pernah tweet “You know its love when everything about her feels right. And everything wrong about her feels normal :)”. Gue ngerti banget rasanya. Mau orang ngomong apapun tentang lo, mau lo ngelakuin apapun, perasaan gue masih sama kok. Okay, it might not be love. But if it isn’t love, then what is it?

Wednesday 5 January 2011

Hukum: Sebuah Perkenalan

Tulisan ini saya buat dalam rangka memenuhi permintaan teman-teman dari SALAM UI. Mereka meminta saya untuk menulis sesuatu mengenai hukum dalam Buku Palestina yang akan mereka terbitkan. Tadinya, saya ingin menulis mengenai permasalahan hukum dari Israel-Palestina, namun urung karena sifatnya yang sudah inter-related dengan politik. Belum lagi wacananya yang sudah basi. Oleh karena itu, saya menulis sesuatu yang dapat memberikan pengantar mengenai apa itu hukum. Semoga tulisannya bermanfaat. Saya sadar bahwa tulisan saya masih banyak kesalahan, oleh karena itu diskusi, masukan, dan kritik dipersilakan dengan sangat. Selamat membaca :)
=====================================================================================


Hukum adalah sebuah alat yang dibentuk oleh manusia untuk mengatur manusia dalam kehidupan sehari-harinya. Konsepsi yang sering disalahartikan oleh beberapa pihak adalah bahwa hukum merupakan ketentuan-ketentuan yang tertulis saja. Pada kenyataannya, hukum bukan hanya seperangkat aturan-aturan tertulis yang terejawantahkan dalam peraturan perundangan-undangan semata. Ketentuan-ketentuan tidak tertulis, seperti hukum adat dalam sistem hukum nasional dan hukum kebiasaan internasional dalam hukum internasional, adalah ketentuan tidak tertulis yang mengikat manusia sebagai subjek hukum. Kedua ketentuan ini, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, sama-sama memiliki kekuatan yang mengikat terhadap masing-masing individu.

Ada sebuah prinsip dalam hukum, yaitu perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Artinya, bahkan sebuah perjanjian pun, selama ada meeting of minds diantara pembuatnya, berlaku sebagai hukum bagi para pihak yang mengikatkan diri kepadanya. Dalam ketentuan ini kedudukan para pihak sama untuk membentuk hukum. Keterikatan mereka pun sama karena masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban yang dituangkan dalam perjanjian tersebut. Ini dalam ketentuan hukum privat, bagaimana dengan hukum publik?

Dalam hukum publik, pihak yang membuat hukum adalah pihak yang berkuasa, dalam hal ini adalah negara. Kedudukan kedua belah pihak pun berbeda, karena rakyat hanya bisa mengikuti ketentuan yang ada dalam hukum tersebut. Negara, melalui perangkat penegak hukumnya, memiliki kekuasaan untuk menjalankan hukum tersebut dan memastikan hukum yang ada dijalankan dengan ketentuan yang ada. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai hakikat sesuatu yang disebut hukum ini dan keberlakuan hukum dalam masyarakat.

Hukum merupakan sesuatu yang lahir dari masyarakat. Baik dalam hukum privat maupun dalam hukum publik, hukum lahir dari keinginan masyarakat untuk terciptanya suatu kehidupan yang tertib. Dari kebiasaan-kebiasaan yang timbul dari masyarakat (dalam bentuk hukum tidak tertulis) hingga akhirnya dibentuk hukum tertulis oleh lembaga yang berwenang (umumnya adalah lembaga legislatif, bisa juga oleh lembaga eksekutif), hukum diciptakan dan berlaku untuk masyarakat. Dalam prosesnya, tidak dapat disangkal kalau hukum merupakan produk politik karena lahir dari sebuah organ politik. Hal ini apabila hukum dibentuk oleh lembaga legislatif. Meskipun demikian, hukum haruslah dipandang sebagai sebuah ilmu yang independen dan murni, terlepas dari pengaruh ilmu lain seperti politik. Hukum merupakan ilmu netral yang penerapannya harus dipandang murni dari kacamata hukum, terlepas dari pengaruh pandangan lain.

Hal yang harus dipahami apabila membicarakan mengenai hukum positif adalah sistem hukum apa yang sedang didiskusikan dan yang sedang berlaku. Di dunia, ada dua sistem hukum besar yang digunakan oleh negara-negara. Keduanya adalah sistem common law yang digunakan oleh negara-negara anglo saxon dan jajahannya atau yang terpengaruh darinya, dan sistem civil law yang digunakan oleh negara-negara Eropa kontinental dan jajahannya atau yang terpengaruh darinya. Kedua sistem hukum ini memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar sejak proses pembuatannya hingga implementasinya dalam pengadilan. Indonesia menggunakan sistem hukum civil law karena pernah dijajah oleh Belanda. Melalui asas konkordansi, akhirnya Indonesia menggunakan sistem hukum yang sama dengan Belanda.

Pemakaian sistem hukum civil law memiliki konsekuensinya tersendiri. Pada negara-negara yang memakai sistem hukum civil law, hukum dibentuk oleh lembaga formal dengan mempertimbangkan kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa depan. Dalam hal ini, bukan hukum yang mengikuti keadaan-keadaan yang ada dalam masyarakat, tapi masyarakat yang harus menyesuaikan dengan ketentuan hukum yang ada. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang ada dalam sistem hukum common law. Pada sistem hukum common law, hukum merupakan kodifikasi dari perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat. Dapat dikatakan bahwa dalam sistem hukum common law, hukum tertulis merupakan hukum kebiasaan yang dituliskan.

Perbedaan paling mencolok dari sistem-sistem hukum yang ada adalah dalam penerapannya. Dalam sistem common law, dikenal dengan sistem juri dalam proses persidangan. Hal ini karena hukum dianggap sebagai sesuatu yang hidup dalam masyarakat dan oleh karena itu penerapannya juga harus ‘diawasi’ dan ‘dikawal’ oleh masyarakat. Dalam hal ini, adalah pemakaian juri yang berasal dari orang-orang awam hukum (lay men). Hakim hanya bertindak sebagai ‘moderator’ dalam persidangan dan bertugas untuk mengesahkan putusan. Sistem civil law tidak mengenal pemakaian juri. Fungsi hakim benar-benar sebagai penguasa dalam proses persidangan. Putusan pun keluar dari hasil pemikiran para hakim. Namun jangan dipandang bahwa hakim semata-mata sebagai corong undang-undang. Hakim juga dapat menemukan hukum dan dapat menginterpretasikan hukum. Peran seorang hakim sangat besar hingga muncul sebuah adagium dari Barat yang berbunyi: ada tiga profesi yang tanggung jawabnya sangat besar dan langsung kepada Tuhan, sehingga mereka memakai jubah. Mereka adalah Professor yang bertanggung jawab terhadap ilmunya, Pendeta yang menyampaikan perkataan Tuhan, dan Hakim yang mengawal keadilan tetap tegak di dunia.

Dengan memahami sistem hukum yang negara kita pakai, seharusnya kita dapat mengerti pola pikir yang sebaiknya digunakan dalam berdiskusi mengenai hukum. Seringkali orang berpendapat bahwa hukum tidak dapat mengikuti perkembangan zaman. Betul, bahwa beberapa peraturan seperti KUHP, KUHPER dan beberapa peraturan perundang-undangan lain akan lebih baik dalam penerapannya apabila mereka diamandemen, namun bukan berarti bahwa mereka tidak dapat dipakai sama sekali. Keadaan lah yang harus menyesuaikan dengan peraturan yang ada. Bukan sebaliknya. Peraturan, terutama peraturan tertulis yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, memiliki daya ikat bagi mereka yang tunduk dalam yurisdiksinya.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, hukum merupakan ilmu netral. Ia tidak berpihak. Meskipun bisa saja muncul preferensi dari masing-masing pembuatnya, namun hukum tetap saja sebuah ilmu murni yang netral. Pembuatannya dan penerapannya seharusnya tidak boleh memihak pihak manapun dan tentunya tidak dibenarkan untuk mendiskriminasi golongan tertentu. Meskipun demikian, kenyataannya hukum masih saja menjadi komoditi politik, ras, gender, dan agama. Dalam tataran praktis hukum dapat disalahgunakan oleh berbagai unsur tersebut. Walaupun relasi hukum dengan variabel-variabel lain dekat, bukan berarti hukum bergantung kepada variabel lain dalam penerapannya. Kesalahan penerapan hukum ini melahirkan aliran-aliran baru dalam mempelajari hukum, diantaranya adalah feminist legal theory. Diantara berbagai artikel yang say abaca, kritik yang dilontarkan oleh penganut feminist legal theory adalah bahwa hukum seringkali bias terhadap wanita. Mereka meminta hukum untuk lebih memihak wanita, baik dalam proses pembuatannya maupun dalam implementasinya. Kritik saya terhadap aliran ini adalah bahwa bukan hukumnya yang bias gender, tapi masyarakatnya. Masyarakat yang bias gender akan melahirkan produk hukum dan penerapan hukum yang bias pula. Dan karena hukum merupakan ilmu yang dipakai dalam masyarakat, penerapannya seringkali bertolak belakang dengan kenetralan ilmu itu.

Sebaik-baiknya produk hukum adalah sebaik-baiknya masyarakat yang menjalankannya. Kita tidak bisa berharap hukum untuk menjadi panglima apabila prajurit-prajuritnya tidak mengikuti perintahnya. Hukum prosedural seringkali dikangkangi oleh politik uang. Mulai dari penyuapan terhadap polisi apabila ditilang, hingga penyuapan terhadap hakim untuk mendapatkan putusan bebas. Perlu ketegasan dari aparat penegak hukum dan kemauan dari masyarakat untuk menerapkan hukum dengan benar. Permasalahan paling besar dengan penegakan hukum kita sudah pasti uang. Dengan uang, semuanya bisa lebih mudah dan cepat. Hal ini karena hukum erat kaitannya dengan prosedur-prosedur dan birokrasi. Di Indonesia, birokrasi masih menjadi permasalahan yang sangat berat sehingga membentuk mental ‘yang penting cepat selesai’. Cara yang paling mudah untuk menyelesaikan birokrasi? Suap. Kita tidak akan bisa mengharapkan penegakan hukum yang baik apabila mental inlander seperti itu masih kita pegang. Jangankan untuk birokrasi, kadang untuk mengantri saja masyarakat kita masih susah. Hapuskan mental babu dari diri kita secepatnya.

Ada tiga prinsip dalam hukum: perintah atau keharusan (gebod), larangan (verbod), dan kebolehan (mogen). Selalu ingat prinsip bahwa apapun itu boleh dilakukan, selama tidak dilarang. Artinya, kita dapat melakukan apapun selama tidak ada peraturan yang melarang kita untuk melakukan hal tersebut. Tapi juga harus ingat mengenai kepantasan, mengenai etika. Jenis ‘hukum’ apapun juga pasti mengandung ketiga prinsip tersebut, agama Islam misalnya. Dalam Islam, ada kewajiban untuk melakukan shalat lima waktu, larangan berzina, dan kebolehan untuk merokok. Sesuatu yang boleh, jangan dilarang. Sesuatu yang wajib harus dilakukan. Yang dilarang, jangan dibiasakan untuk diperbolehkan. Sebenarnya semudah itu saja untuk menjalanka hukum dalam bentuk apapun. Kita hanya perlu mengetahui mana yang harus kita lakukan, mana yang tidak boleh dilakukan dan mana yang masih boleh dilakukan dalam batas-batas yang wajar –meskipun konstruksi sosial budaya melahirkan ketentuan-ketentuan yang absurd.

Katakanlah masyarakat sudah tidak seberingas sekarang dan lebih tertib, masih kah perlu hukum? Karena toh hakikat hukum adalah untuk memastikan keteraturan dalam masyarakat. Masih perlukah kita berhenti saat lampu merah di jalan pada tengah malam ketika kendaraan lain sudah tidak ada? Bukan kah lampu jalan fungsinya untuk mengatur agar keadaan lalu lintas tertib dan lancar? Apakah ketertiban masyarakat menjamin tidak perlunya hukum? Atau kah justru masyarakat tertib karena mengikuti hukum yang ada?

Diskusi-diskusi utopis mengenai hukum tidak akan pernah berakhir. Debat mengenai mana yang lebih penting antara keadilan dan kepastian hukum juga tidak akan pernah usai. Tapi semua itu selalu bermuara pada hal yang sama: harapan. Harapan bahwa masyarakat kita akan lebih baik; meskipun keadilan pun tidak akan bisa dicapai oleh manusia. Saya selalu berpendapat bahwa apabila berbicara mengenai hukum, jangan lah berbicara mengenai kepastian hukum dan keadilan. Sesuatu yang makin pasti akan makin tidak adil, sesuatu yang makin adil akan makin tidak pasti. Hukum adalah mengenai hak dan kewajiban. Seseorang tidak akan mungkin dihukum mati apabila ia tidak melakukan pembunuhan berencana. Seseorang akan mendapatkan bayaran ratusan juta rupiah apabila ia melakukan prestasi seperti yang sudah dijanjikan dalam perjanjian kerjasama. Agar seseorang mendapatkan haknya, ia harus melaksanakan kewajibannya. Hak seseorang harus dijamin oleh kewajiban orang lain, dan begitupun sebaliknya.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat yang majemuk, sudah merupakan kewajiban kita untuk menghargai hak-hak kita sesama warga negara. Dan merupakan kewajiban negara untuk menyediakan hak-hak warga negaranya, terlepas apakah hak tersebut akan digunakan atau tidak. Perlu kerjasama yang padu antar berbagai elemen dalam masyarakat untuk menjamin berjalannya budaya hukum yang baik dalam masyarakat. Bukan sebuah mimpi untuk menciptakan masyarakat yang tertib hukum. Hanya diperlukan upaya lebih dari yang biasanya untuk menciptakan perubahan, dan upaya itu tidak harus merupakan upaya yang besar. Dengan langkah-langkah kecil, dari diri kita sendiri, dari lingkungan kita sendiri akan menciptakan perubahan yang cukup besar. Karena satu perubahan kecil pada seseorang, akan menciptkan perubahan bagi orang lain.

Fiat justitia et pereat mundus.