Wednesday, 5 January 2011

Hukum: Sebuah Perkenalan

Tulisan ini saya buat dalam rangka memenuhi permintaan teman-teman dari SALAM UI. Mereka meminta saya untuk menulis sesuatu mengenai hukum dalam Buku Palestina yang akan mereka terbitkan. Tadinya, saya ingin menulis mengenai permasalahan hukum dari Israel-Palestina, namun urung karena sifatnya yang sudah inter-related dengan politik. Belum lagi wacananya yang sudah basi. Oleh karena itu, saya menulis sesuatu yang dapat memberikan pengantar mengenai apa itu hukum. Semoga tulisannya bermanfaat. Saya sadar bahwa tulisan saya masih banyak kesalahan, oleh karena itu diskusi, masukan, dan kritik dipersilakan dengan sangat. Selamat membaca :)
=====================================================================================


Hukum adalah sebuah alat yang dibentuk oleh manusia untuk mengatur manusia dalam kehidupan sehari-harinya. Konsepsi yang sering disalahartikan oleh beberapa pihak adalah bahwa hukum merupakan ketentuan-ketentuan yang tertulis saja. Pada kenyataannya, hukum bukan hanya seperangkat aturan-aturan tertulis yang terejawantahkan dalam peraturan perundangan-undangan semata. Ketentuan-ketentuan tidak tertulis, seperti hukum adat dalam sistem hukum nasional dan hukum kebiasaan internasional dalam hukum internasional, adalah ketentuan tidak tertulis yang mengikat manusia sebagai subjek hukum. Kedua ketentuan ini, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, sama-sama memiliki kekuatan yang mengikat terhadap masing-masing individu.

Ada sebuah prinsip dalam hukum, yaitu perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Artinya, bahkan sebuah perjanjian pun, selama ada meeting of minds diantara pembuatnya, berlaku sebagai hukum bagi para pihak yang mengikatkan diri kepadanya. Dalam ketentuan ini kedudukan para pihak sama untuk membentuk hukum. Keterikatan mereka pun sama karena masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban yang dituangkan dalam perjanjian tersebut. Ini dalam ketentuan hukum privat, bagaimana dengan hukum publik?

Dalam hukum publik, pihak yang membuat hukum adalah pihak yang berkuasa, dalam hal ini adalah negara. Kedudukan kedua belah pihak pun berbeda, karena rakyat hanya bisa mengikuti ketentuan yang ada dalam hukum tersebut. Negara, melalui perangkat penegak hukumnya, memiliki kekuasaan untuk menjalankan hukum tersebut dan memastikan hukum yang ada dijalankan dengan ketentuan yang ada. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai hakikat sesuatu yang disebut hukum ini dan keberlakuan hukum dalam masyarakat.

Hukum merupakan sesuatu yang lahir dari masyarakat. Baik dalam hukum privat maupun dalam hukum publik, hukum lahir dari keinginan masyarakat untuk terciptanya suatu kehidupan yang tertib. Dari kebiasaan-kebiasaan yang timbul dari masyarakat (dalam bentuk hukum tidak tertulis) hingga akhirnya dibentuk hukum tertulis oleh lembaga yang berwenang (umumnya adalah lembaga legislatif, bisa juga oleh lembaga eksekutif), hukum diciptakan dan berlaku untuk masyarakat. Dalam prosesnya, tidak dapat disangkal kalau hukum merupakan produk politik karena lahir dari sebuah organ politik. Hal ini apabila hukum dibentuk oleh lembaga legislatif. Meskipun demikian, hukum haruslah dipandang sebagai sebuah ilmu yang independen dan murni, terlepas dari pengaruh ilmu lain seperti politik. Hukum merupakan ilmu netral yang penerapannya harus dipandang murni dari kacamata hukum, terlepas dari pengaruh pandangan lain.

Hal yang harus dipahami apabila membicarakan mengenai hukum positif adalah sistem hukum apa yang sedang didiskusikan dan yang sedang berlaku. Di dunia, ada dua sistem hukum besar yang digunakan oleh negara-negara. Keduanya adalah sistem common law yang digunakan oleh negara-negara anglo saxon dan jajahannya atau yang terpengaruh darinya, dan sistem civil law yang digunakan oleh negara-negara Eropa kontinental dan jajahannya atau yang terpengaruh darinya. Kedua sistem hukum ini memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar sejak proses pembuatannya hingga implementasinya dalam pengadilan. Indonesia menggunakan sistem hukum civil law karena pernah dijajah oleh Belanda. Melalui asas konkordansi, akhirnya Indonesia menggunakan sistem hukum yang sama dengan Belanda.

Pemakaian sistem hukum civil law memiliki konsekuensinya tersendiri. Pada negara-negara yang memakai sistem hukum civil law, hukum dibentuk oleh lembaga formal dengan mempertimbangkan kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa depan. Dalam hal ini, bukan hukum yang mengikuti keadaan-keadaan yang ada dalam masyarakat, tapi masyarakat yang harus menyesuaikan dengan ketentuan hukum yang ada. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang ada dalam sistem hukum common law. Pada sistem hukum common law, hukum merupakan kodifikasi dari perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat. Dapat dikatakan bahwa dalam sistem hukum common law, hukum tertulis merupakan hukum kebiasaan yang dituliskan.

Perbedaan paling mencolok dari sistem-sistem hukum yang ada adalah dalam penerapannya. Dalam sistem common law, dikenal dengan sistem juri dalam proses persidangan. Hal ini karena hukum dianggap sebagai sesuatu yang hidup dalam masyarakat dan oleh karena itu penerapannya juga harus ‘diawasi’ dan ‘dikawal’ oleh masyarakat. Dalam hal ini, adalah pemakaian juri yang berasal dari orang-orang awam hukum (lay men). Hakim hanya bertindak sebagai ‘moderator’ dalam persidangan dan bertugas untuk mengesahkan putusan. Sistem civil law tidak mengenal pemakaian juri. Fungsi hakim benar-benar sebagai penguasa dalam proses persidangan. Putusan pun keluar dari hasil pemikiran para hakim. Namun jangan dipandang bahwa hakim semata-mata sebagai corong undang-undang. Hakim juga dapat menemukan hukum dan dapat menginterpretasikan hukum. Peran seorang hakim sangat besar hingga muncul sebuah adagium dari Barat yang berbunyi: ada tiga profesi yang tanggung jawabnya sangat besar dan langsung kepada Tuhan, sehingga mereka memakai jubah. Mereka adalah Professor yang bertanggung jawab terhadap ilmunya, Pendeta yang menyampaikan perkataan Tuhan, dan Hakim yang mengawal keadilan tetap tegak di dunia.

Dengan memahami sistem hukum yang negara kita pakai, seharusnya kita dapat mengerti pola pikir yang sebaiknya digunakan dalam berdiskusi mengenai hukum. Seringkali orang berpendapat bahwa hukum tidak dapat mengikuti perkembangan zaman. Betul, bahwa beberapa peraturan seperti KUHP, KUHPER dan beberapa peraturan perundang-undangan lain akan lebih baik dalam penerapannya apabila mereka diamandemen, namun bukan berarti bahwa mereka tidak dapat dipakai sama sekali. Keadaan lah yang harus menyesuaikan dengan peraturan yang ada. Bukan sebaliknya. Peraturan, terutama peraturan tertulis yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, memiliki daya ikat bagi mereka yang tunduk dalam yurisdiksinya.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, hukum merupakan ilmu netral. Ia tidak berpihak. Meskipun bisa saja muncul preferensi dari masing-masing pembuatnya, namun hukum tetap saja sebuah ilmu murni yang netral. Pembuatannya dan penerapannya seharusnya tidak boleh memihak pihak manapun dan tentunya tidak dibenarkan untuk mendiskriminasi golongan tertentu. Meskipun demikian, kenyataannya hukum masih saja menjadi komoditi politik, ras, gender, dan agama. Dalam tataran praktis hukum dapat disalahgunakan oleh berbagai unsur tersebut. Walaupun relasi hukum dengan variabel-variabel lain dekat, bukan berarti hukum bergantung kepada variabel lain dalam penerapannya. Kesalahan penerapan hukum ini melahirkan aliran-aliran baru dalam mempelajari hukum, diantaranya adalah feminist legal theory. Diantara berbagai artikel yang say abaca, kritik yang dilontarkan oleh penganut feminist legal theory adalah bahwa hukum seringkali bias terhadap wanita. Mereka meminta hukum untuk lebih memihak wanita, baik dalam proses pembuatannya maupun dalam implementasinya. Kritik saya terhadap aliran ini adalah bahwa bukan hukumnya yang bias gender, tapi masyarakatnya. Masyarakat yang bias gender akan melahirkan produk hukum dan penerapan hukum yang bias pula. Dan karena hukum merupakan ilmu yang dipakai dalam masyarakat, penerapannya seringkali bertolak belakang dengan kenetralan ilmu itu.

Sebaik-baiknya produk hukum adalah sebaik-baiknya masyarakat yang menjalankannya. Kita tidak bisa berharap hukum untuk menjadi panglima apabila prajurit-prajuritnya tidak mengikuti perintahnya. Hukum prosedural seringkali dikangkangi oleh politik uang. Mulai dari penyuapan terhadap polisi apabila ditilang, hingga penyuapan terhadap hakim untuk mendapatkan putusan bebas. Perlu ketegasan dari aparat penegak hukum dan kemauan dari masyarakat untuk menerapkan hukum dengan benar. Permasalahan paling besar dengan penegakan hukum kita sudah pasti uang. Dengan uang, semuanya bisa lebih mudah dan cepat. Hal ini karena hukum erat kaitannya dengan prosedur-prosedur dan birokrasi. Di Indonesia, birokrasi masih menjadi permasalahan yang sangat berat sehingga membentuk mental ‘yang penting cepat selesai’. Cara yang paling mudah untuk menyelesaikan birokrasi? Suap. Kita tidak akan bisa mengharapkan penegakan hukum yang baik apabila mental inlander seperti itu masih kita pegang. Jangankan untuk birokrasi, kadang untuk mengantri saja masyarakat kita masih susah. Hapuskan mental babu dari diri kita secepatnya.

Ada tiga prinsip dalam hukum: perintah atau keharusan (gebod), larangan (verbod), dan kebolehan (mogen). Selalu ingat prinsip bahwa apapun itu boleh dilakukan, selama tidak dilarang. Artinya, kita dapat melakukan apapun selama tidak ada peraturan yang melarang kita untuk melakukan hal tersebut. Tapi juga harus ingat mengenai kepantasan, mengenai etika. Jenis ‘hukum’ apapun juga pasti mengandung ketiga prinsip tersebut, agama Islam misalnya. Dalam Islam, ada kewajiban untuk melakukan shalat lima waktu, larangan berzina, dan kebolehan untuk merokok. Sesuatu yang boleh, jangan dilarang. Sesuatu yang wajib harus dilakukan. Yang dilarang, jangan dibiasakan untuk diperbolehkan. Sebenarnya semudah itu saja untuk menjalanka hukum dalam bentuk apapun. Kita hanya perlu mengetahui mana yang harus kita lakukan, mana yang tidak boleh dilakukan dan mana yang masih boleh dilakukan dalam batas-batas yang wajar –meskipun konstruksi sosial budaya melahirkan ketentuan-ketentuan yang absurd.

Katakanlah masyarakat sudah tidak seberingas sekarang dan lebih tertib, masih kah perlu hukum? Karena toh hakikat hukum adalah untuk memastikan keteraturan dalam masyarakat. Masih perlukah kita berhenti saat lampu merah di jalan pada tengah malam ketika kendaraan lain sudah tidak ada? Bukan kah lampu jalan fungsinya untuk mengatur agar keadaan lalu lintas tertib dan lancar? Apakah ketertiban masyarakat menjamin tidak perlunya hukum? Atau kah justru masyarakat tertib karena mengikuti hukum yang ada?

Diskusi-diskusi utopis mengenai hukum tidak akan pernah berakhir. Debat mengenai mana yang lebih penting antara keadilan dan kepastian hukum juga tidak akan pernah usai. Tapi semua itu selalu bermuara pada hal yang sama: harapan. Harapan bahwa masyarakat kita akan lebih baik; meskipun keadilan pun tidak akan bisa dicapai oleh manusia. Saya selalu berpendapat bahwa apabila berbicara mengenai hukum, jangan lah berbicara mengenai kepastian hukum dan keadilan. Sesuatu yang makin pasti akan makin tidak adil, sesuatu yang makin adil akan makin tidak pasti. Hukum adalah mengenai hak dan kewajiban. Seseorang tidak akan mungkin dihukum mati apabila ia tidak melakukan pembunuhan berencana. Seseorang akan mendapatkan bayaran ratusan juta rupiah apabila ia melakukan prestasi seperti yang sudah dijanjikan dalam perjanjian kerjasama. Agar seseorang mendapatkan haknya, ia harus melaksanakan kewajibannya. Hak seseorang harus dijamin oleh kewajiban orang lain, dan begitupun sebaliknya.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat yang majemuk, sudah merupakan kewajiban kita untuk menghargai hak-hak kita sesama warga negara. Dan merupakan kewajiban negara untuk menyediakan hak-hak warga negaranya, terlepas apakah hak tersebut akan digunakan atau tidak. Perlu kerjasama yang padu antar berbagai elemen dalam masyarakat untuk menjamin berjalannya budaya hukum yang baik dalam masyarakat. Bukan sebuah mimpi untuk menciptakan masyarakat yang tertib hukum. Hanya diperlukan upaya lebih dari yang biasanya untuk menciptakan perubahan, dan upaya itu tidak harus merupakan upaya yang besar. Dengan langkah-langkah kecil, dari diri kita sendiri, dari lingkungan kita sendiri akan menciptakan perubahan yang cukup besar. Karena satu perubahan kecil pada seseorang, akan menciptkan perubahan bagi orang lain.

Fiat justitia et pereat mundus.

No comments:

Post a Comment