Monday 7 March 2011

Deponeering dan Gugatan TUN

Oleh: Dhief Ramadhani

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) kembali membuat sensasi. Kali ini sensasi tersebut dibuat oleh Komisi III DPR yang membawahi bidang hukum. Sensasi ini bermula ketika DPR mengundang Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk hadir dalam rapat dengan Tim Pengawas Kasus Century pada hari Senin tanggal 1 Februari 2011. Dalam rapat itu Komisi III DPR mempermasalahkan kehadiran dua orang anggota Pimpinan KPK yaitu Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.

Di internal Komisi III DPR terdapat pendapat yang berbeda. Ada yang berpendapat Bibit-Chandra tidak boleh ikut dalam rapat karena masih berstatus tersangka. Sementara di sisi lain ada pula anggota Dewan yang berpendapat Chandra-Bibit bukan lagi tersangka karena Jaksa Agung telah mengeluarkan deeponering terhadap kasus yang melibatkan Chandra-Bibit. Akhirnya Komisi III DPR memutuskan bahwa mereka menolak kehadiran Chandra-Bibit dalam rapat tersebut.

Tulisan ini dibuat bukan untuk membahas mengenai status Chandra-Bibit. Melainkan mengenai hubungan keputusan deeponering dengan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Setelah kejadian di Komisi III tersebut, muncul beberapa pertanyaan saat Penulis berdiskusi dengan beberapa orang kawan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah Jaksa Agung merupakan Pejabat Tata Usaha Negara? Apakah keputusan Jaksa Agung terkait deeponering dapat digugat ke PTUN? Jika ya, siapakah yang kemudian berhak mengajukan gugatan ke PTUN terkait keputusan deeponering tersebut?

Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan salah satu lingkup peradilan di bawah Mahkamah Agung. Pengaturan mengenai PTUN terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Berdasarkan ketiga undang-undang tersebut, ada beberapa definisi yang perlu diketahui terlebih dahulu. Beberapa definisi tersebut adalah:

- Tata Usaha Negara (TUN) adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.

- Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

- Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

- Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan UU pula, definisi mengenai Keputusan Tata Usaha Negara (Keputusan TUN) kemudian dibatasi sehingga tidak semua penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dapat disengketakan atau digugat ke PTUN. Salah satu pengecualian tersebut adalah:

Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;

Sebagaimana telah diuraikan di awal, bahwa tulisan ini dibuat untuk membahas mengenai kemungkinan menggugat keputusan Jaksa Agung mengenai deeponering untuk digugat ke PTUN. Deeponering adalah salah satu kewenangan yang dimiliki Jaksa Agung untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum. Kewenangan ini berdasarkan ketentuan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung sendiri adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan.

Kejaksaan merupakan lembaga yang unik. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan. Posisi Kejaksaan kemudian menjadi unik karena meskipun berstatus sebagai lembaga Pemerintahan, namun wewenang Kejaksaan adalah termasuk dalam bidang yudikatif. Wewenang utama Kejaksaan adalah melakukan penyidikan dan penuntutan, yang notabene merupakan bagian dari alur penyelesaian sengketa di pengadilan (kekuasaan yudikatif).

Posisi yang unik ini membuat Jaksa Agung sebagai pimpinan Kejaksaan memainkan dua peranan, yaitu sebagai Pejabat TUN dan juga sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman (yudisial). Jaksa Agung dapat dikatakan sebagai Pejabat TUN karena berdasarkan definisi dalam UU PTUN, Pejabat TUN adalah pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan. UU Kejaksaan sendiri menyatakan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan, sehingga Jaksa Agung dapat disebut sebagai Pejabat TUN karena melaksanakan urusan pemerintahan.

Akibatnya keputusan yang dikeluarkan Jaksa Agung pun juga dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu keputusan yang bersifat administratif dan keputusan yang bersifat yudisial. Keputusan yang bersifat administratif adalah ketika Jaksa Agung mengeluarkan keputusan yang termasuk dalam lingkup administrasi negara, seperti dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Jaksa. Sedangkan Keputusan Jaksa Agung yang bersifat yudisial adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung dalam hal pelaksanaan kewajiban dan wewenang Kejaksaan, seperti penyidikan, penuntutan, dan juga deeponering.

Berdasarkan uraian di atas, Penulis berpendapat bahwa deeponering tidak dapat digugat ke PTUN karena keputusan Jaksa Agung perihal pengenyampingan perkara demi kepentingan umum (deeponering) merupakan keputusan yang dikeluarkan untuk menjalankan wewenang Jaksa Agung di bidang yudisial, bukan di bidang administrasi negara. Jika semua keputusan Jaksa Agung dikategorikan sebagai Keputusan TUN dan dapat digugat ke PTUN, maka berarti keputusan Jaksa yang menentukan berkas suatu perkara telah lengkap (lebih dikenal dengan istilah P-21) seharusnya juga dapat digugat ke PTUN. Hal ini tidak sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia.

Dengan demikian Penulis berkesimpulan bahwa keputusan Jaksa Agung perihal deeponering tidak dapat diajukan gugatan ke PTUN karena dua alasan:

1. Keputusan Jaksa Agung mengenai deeponering adalah keputusan Jaksa Agung di bidang yudisial dalam hal pelaksanaan kewenangan Kejaksaan untuk melakukan atau tidak melakukan penuntutan terhadap suatu perkara.

2. UU PTUN sendiri telah membatasi Keputusan TUN yang tidak dapat diajukan gugatan ke PTUN, dan Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana adalah termasuk Keputusan TUN yang tidak dapat digugat ke PTUN karena merupakan keputusan yang bersifat hukum pidana.

No comments:

Post a Comment