Tuesday, 26 July 2011

Ketika Goresan Ide Bersuara

Seketika aku terbangun. Saat ini pukul 2 lewat 7 menit. Dini hari.

Aku terbangun dengan ratusan kata mengerubungi benak. Kata-kata yang tersambung, ide-ide yang beriring. Semua karena ratusan kata yang kulahap beberapa hari terakhir.

Kini kata-kata tak berhenti mengalir dari otakku. Mereka ingin dirangkai. Mereka ingin dipersatukan. Mereka ingin bercerita.

Ya. Kata-kata itu ingin bercerita.

Kata-kata itu ingin dianggap layaknya makhluk hidup. Karena sejatinya, ia pun makhluk. Ciptaan. Ia pun hidup. Dalam tiap imaji.

Ketika kata-kata itu ingin bercerita, aku tak kuasa. Kusebar saja kata-kata tanpa makna.

Selama kata-kata itu bercerita.

Saturday, 2 July 2011

Quo Vadis Diplomasi Indonesia

Zero enemies, a thousand friends. Pernah dengar ungkapan itu? Ungkapan itu pernah dinyatakan oleh presiden SBY sebagai pandangan kita dalam berpolitik di dunia internasional. Pernyataan tersebut dianggap oleh beberapa kritikus sebagai pandangan yang tidak jelas, ditambah dengan kegemaran kita untuk menyatakan diri sebagai negara netral –terutama sebagai anggota Negara-Negara Non Blok-, pandangan tersebut semakin menegaskan konsistensi Indonesia sebagai negara ‘pengecut’. Namun, benarkah Indonesia adalah negara pengecut?

Dulu Indonesia dikenal sebagai salah satu macan Asia. Dulu, semasa presiden Soekarno, Indonesia sangat tegas dalam mengemukakan pendapatnya dalam pergaulan internasional. Mulai dari konfrontasi dengan Malaysia, memutuskan keluar dari PBB, hingga mengatakan ‘go to hell with your aid’ kepada Amerika Serikat. Ya, dulu Indonesia adalah negara yang garang. Tapi sekarang Indonesia tidak lebih dari sebuah kura-kura yang berjalan lamban sebagai sebuah negara, termasuk dalam hal diplomasi. Indonesia pun terkadang ragu-ragu untuk bertindak. Persis seperti kura-kura, yang terkadang tidak berani keluar dari cangkangnya.

Dengan kebijakan luar negeri yang ‘Bebas Aktif’, Indonesia berharap untuk dapat berperan serta dalam dunia internasional tanpa perlu memihak kepada pihak-pihak tertentu. Kebijakan ini sering dikritik karena menunjukkan ketidak beranian Indonesia untuk memihak. Tidak dipungkiri lagi, dalam dunia internasional terdapat kubu-kubu yang terpolarisasi antara Amerika Serikat-Eropa dengan Cina dan antek-anteknya. Namun apa salahnya apabila Indonesia ingin aktif dalam dunia internasional tanpa berpihak? Bukankah dengan menyatakan kita di tengah sudah menyatakan bahwa Indonesia berpihak ke ‘jalan tengah’?

Yang harus dikritisi di sini bukan lah ketidak mampuan, atau tepatnya ketidak mauan, Indonesia untuk berpihak. Yang harus dikritisi adalah ketidak mampuan Indonesia untuk menunjukkan bahwa kita adalah negara yang besar. Berkali-kali saya mendengar, tentunya ini keluar dari WNI sendiri, bahwa Indonesia adalah negara yang besar. Betul. Dalam hal luas wilayah dan jumlah penduduk, Indonesia adalah negara yang besar. Namun apakah benar kita adalah negara, atau bangsa, besar yang dihormati oleh negara-negara lain? Mari kita lihat beberapa contoh yang sudah ada.

Beberapa hari terakhir kita dikejutkan dengan pemberitaan adanya TKW kita yang dihukum pancung oleh pemerintah Arab Saudi. Pemerintah menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui bahwa TKW tersebut akan dieksekusi pada waktu yang ditentukan. Shame on them. Seharusnya pemerintah melakukan penyelidikan yang lebih baik lagi mengenai hal itu. Menlu Natalegawa akhirnya menyatakan bahwa pemerintah menyatakan permintaan maaf melalui Duta Besarnya di Indonesia. Berita yang langsung dibantah oleh Duta Besar yang bersangkutan. Pemerintah menipu? Mungkin saja. Pemerintah kemudian menyatakan akan menjalankan moratorium TKI ke Arab Saudi bulan Agustus. Kabar terkahir yang saya dengar, pihak Arab Saudi menyatakan mereka akan melaksanakan moratorium tersebut pada bulan Juli. Ironis. Pemerintah Indonesia tidak dipandang sama sekali oleh Arab Saudi. Seakan Indonesia tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka.

Dalam kasus ekspor sapi Australia pun DPR menginginkan, kalau tidak dapat disebut memohon, agar ekspor tersebut dicabut. Meskipun Faisal Basri sudah menyatakan kita dapat mengimpor sapi dari negara lain, toh kita masih berharap ada sapi dari Australia.

Lalu siapa yang tidak ingat kasus perompak Somalia? Berapa lama waktu yang harus dihabiskan ABK kita dalam kekangan para perompak? Padahal, Malaysia dan Korea Selatan dapat menyelesaikan masalah yang sama dengan sangat cepat dan tanpa korban jiwa. Indonesia? Berkompromi dengan penjahat. Pantas saja negara ini banyak penjahatnya, ternyata pemerintah kita doyan berkompromi dengan penjahat.

Contoh terakhir, mengenai pengambilan wilayah kita oleh negara lain. Lupakan kasus Sipadan & Ligitan, itu karena kebodohan kita sendiri tidak bisa mengusahakan pulau-pulau sendiri. Kasus yang lebih memalukan adalah adanya pemindahan patok yang dilakukan oleh Timor Leste di perbatasan. Lihat pelakunya, Timor Leste!!! Kalau kita bisa dikangkangi oleh negara kecil macam Timor Leste, bayangkan apa yang Amerika Serikat dapat lakukan kepada kita.

Bagi saya, permasalahan diplomasi Indonesia bukan disebabkan oleh kebijakan luar negeri atau pandangan politik luar negeri yang dimiliki Indonesia. Permasalahannya lebih besar dari itu. Masalah ini masih menjadi permasalahan kita sebagai satu bangsa. Yaitu masih berkembangnya mental terjajah diantara warga.

Kebanyakan dari warga Indonesia masih memandang rendah diri sendiri, bahkan negara sendiri, dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama Amerika Serikat dan Eropa. Perlakuan berlebihan kita terhadap ekspat yang ada di sini pun makin menunjukkan kita masih menganut mental inlaander yang kronis sekaligus akut. Masih adanya mental inlaander itu yang akan terus menghambat kita untuk terus maju sebagai sebuah bangsa.

Masalah ini adalah masalah kita bersama, kawan. Kita harus terus mengembangkan diri kita sendiri dan harus memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Apabila berurusan dengan masalah dalam negeri, kita harus terus kritik pemerintah agar kinerjanya tetap terjaga. Namun apabila kita berurusan dengan negara lain, maka ungkapan right or wrong, it’s my country harus terus kita pegang.

Jangan sampai harga diri kita diinjak-injak oleh londo-londo yang sebenarnya hanya berbeda warna kulit dari kita. Kita harus sadar bahwa kita adalah bangsa yang besar. Kita memiliki tanggung jawab yang besar untuk berperan aktif dan melakukan perubahan di dunia internasional. Namun jangan sampai terjebak dengan chauvinisme berlebihan. We don’t need another USA in this world.

We are the change that Indonesia needs. Be that change. Let’s make a better, a more respectable Indonesia for us, for our children, and for our children’s children.